Mantan Ketua KI Lampung Sayangkan Arogansi Gubernur Arinal ke Wartawan KompasTV

BANDARLAMPUNG - Mantan
Ketua Komisi Informasi (KIP) Lampung, Juniardi, menyayangkan sikap arogansi Gubernur
Lampung Arinal Djunaidi yang melarang wartawan kompastv merekam, dan
memerintahkan menghapus rekaman Gubernur Lampung saat memberikan sambutan pada
acara pembekalan panitia Haji.
"Apalagi ucapan itu disampaikan orang nomor satu di
Lampung dan diungkapkan di muka umum dihadapan peserta ASN dan pejabat di
lingkungan Pemprov Lampung. Ini bisa mengarah kepada sikap menghalang-halangi,
dan kekerasan verbal kepada wartawan," kata Juniardi, Selasa (16/5/2023).
Padahal, lanjut Juniardi, pada acara tersebut Arinal
Djunaidi memberikan sambutan sebagai Gubernur Lampung, notabene pejabat publik,
dan mengemban amanah publik, dan dalam kegiatan badan publik.
"Sementara wartawan kompastv melaksanakan tugas
wartawan dan melakukan kerja kerja jurnalistik. Artinya Wartawan yang
melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai dengan UU No.40/1999 tentang Pers
dilindungi Haknya," ujar Alumni Magister Hukum Unila ini
Pemimpin Redaksi sinarlampung.co itu menjelaskan, kegiatan
tersebut adalah kegiatan pemerintahan yang justru untuk kepentingan publik,
yang juga diatur dalam UU KIP No 14/2008, wajib disampaikan kepada publik
(pasal 9, 10, 11).
"Kita ketahui berdama bahwa perubahan mendasar dalam
amandemen UUD 1945 diantaranya adalah setiap orang berhak memperoleh informasi
yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya,"
jelasnya.
"Setiap orang juga berhak mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia sebagaimana yang tercantum dalam amandemen
UUD 1945 pasal 28 F," lanjutnya.
Menurut Juniardi, dilengkapi dengan paradigma keterbukaan
informasi yang mewajibkan keterbukaan informasi publik pada badan publik diatur
dalam UU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Badan publik, menurut UU tersebut adalah lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran tersebut.
"Artinya ada kesan Gubernur Lampung itu telah
menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik. Orang yang menghambat dan
menghalangi kerja Wartawan dapat dipidana sebagaimana pasal 18 ayat (1) UU Pers
Nomor 40 tahun 1999, Yang menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500
juta," tegasnya.
Mantan Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan ini mengurai
bahwa Wartawan dalam melakukan tugas Jurnalistik menurut Pasal 1 angka 4 UU
Pers adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tersebut, terdapat
perbedaan antara wartawan dan masyarakat sipil dimana secara khusus wartawan
bernaung dalam pers atau perusahaan pers.
Ketika menjalankan profesinya, wartawan harus menaati kode
etik jurnalistik. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik
wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan Indonesia
harus menempuh cara-cara yang profesional.
Cara-cara yang profesional tersebut adalah menunjukkan
identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap;
menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
Kemudian rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran
gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan
secara berimbang;
Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian
gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk hasil liputan wartawan
lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan
untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Selain cara-cara profesional dalam menjalankan tugas
jurnalistik dalam konteks merekam atau dokumentasi yang dilakukan oleh wartawan
juga harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik lain yaitu;
Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan;
Mempunyai hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan
kesepakatan;
Termasuk menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya kecuali untuk kepentingan publik.
"Larangan wartawan merekam tanpa izin itu dilarang
ketika hal tersebut berkaitan dengan pribadi narasumber. Misalnya kehidupan pribadi
narasumber, hal-hal yang disepakati untuk off the record, dan lain-lain. Atay
wartawan merekan orang lagi mandi tanpa izin," katanya
Dan tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur secara tegas dan eksplisit mengenai larangan mengambil gambar,
merekam video, merekam suara di dalam kantor pemerintahan dan fasilitas umum,
sepanjang hal itu dilakukan untuk tugas jurnalistik dengan cara-cara
profesional dan bertujuan memberikan informasi yang berimbang.
Dan apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atas
informasi atau dokumentasi yang dimuat dalam produk jurnalistik yang dibuat
oleh wartawan, maka pada dasarnya masyarakat dapat menggunakan pelayanan hak
jawab dan hak koreksi.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang yang
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya.
Sementara, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk
mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik
tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Implementasi pelaksanaan hak jawab tersebut dapat dilihat
dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa wartawan Indonesia
segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat
disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat
dilakukan juga oleh Dewan Pers karena salah satu fungsi Dewan Pers adalah
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Lalu tanggapan dari pers atas hak jawab dan hak koreksi
berupa kewajiban koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers
atas berita yang dimuatnya.
Kemudian dalam Kode Etik Jurnalistik juga disebutkan bahwa
penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan
Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi
wartawan dan/atau perusahaan pers.
Apabila perusahaan pers tidak melayani hak jawab ataupun hak
koreksi, maka dipidana denda maksimal Rp500 juta.