Pemerintah Aceh Didesak Cabut Pemberlakuan Jam Malam

Pemerintah Aceh Didesak Cabut Pemberlakuan Jam Malam
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Teuku Irwan Djohan

BANDA ACEH-Penerapan jam malam yang telah diberlakukan di Aceh dalam masa penanganan wabah covid-19 dinilai oleh sejumlah kalangan tidak efektif.

Para aktivis mendesak Pemerintah Aceh segera mencabut kebijakan pemberlakuan jam malam tersebut. Salah seorang kalangan yang menolak diberlakukan jam malam diantaranya Teuku Irwan Djohan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Dalam laman media sosialnya Teuku Irwan Djohan mengatakan aceh tidak perlu jam malam.

“Peraturan jam malam untuk mencegah meluasnya covid-19, apalagi sampai 2 bulan, tidak perlu dilakukan di Aceh saat ini,” kata dia, Rabu (01/04).

Apabila pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh dan melakukan karantina orang dalam pemantauan (ODP) secara ketat, maka tidak perlu jam malam.

“Seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup. Mengingat semua kasus positif Covid-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia,” ungkapnya.

Jadi itu akar permasalahannya. Untuk menyelesaikan setiap masalah, maka yang harus diatasi adalah akar permasalahannya.

“Kalau Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian, tapi masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu tidak akan mengakhiri penularan virus korona,” imbuh dia.

Ditegaskanya, seandainya kita asumsikan bahwa semua orang yang ada di Aceh ini negatif dari covid-19. Tapi kemudian masuk orang yang sudah terinfeksi Covid-19, maka penularan akan terus terjadi.

Namun faktanya, hingga saat ini kita mengetahui bahwa sudah ada 5 orang yang positif di Aceh,” lanjutnya.

Dia menambahkan, ada puluhan pasien dalam pengawasan (PDP), serta ratusan orang dalam pemantauan (ODP) yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. Jadi, yang harus dilakukan saat ini adalah menutup jalur agar tidak ada lagi orang yang membawa covid-19 ke Aceh.

Kemudian juga harus dilakukan karantina yang super ketat.

Ratusan ODP yang tersebar di seluruh Aceh harus dikarantina secara terpusat minimal 14 hari, dan dilindungi 14 x 24 jam agar tidak bertemu dengan orang lain.

Memutus rantai penularan Covid-19 ini tidak mungkin berhasil jika para ODP hanya diimbau untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing.

Hal yang sangat manusiawi apabila manusia bosan berada di dalam rumah selama 14 hari. Maka ia akan tetap keluar rumah, belanja ke pasar, ke apotek dan sebagainya.

Disamping itu, tidak semua ODP di Aceh ini adalah orang yang mampu secara ekonomi.

Banyak di antaranya rakyat kecil yang sumber penghasilannya dari bekerja harian.

“Bagaimana mungkin mereka yang pekerja harian ini diimbau untuk berdiam diri di rumah selama 14 hari? Mau makan apa dia dan keluarganya?,” kata dia.

Maka sudah seharusnya pemerintah yang menanggung kebutuhan para ODP, baik makanan, vitamin, dan sebagainya.

“Caranya, para ODP ini harus dikarantina di satu tempat,” tegas dia.

Akan lebih tepat lagi kalau para ODP dikarantina di fasilitas militer yang sudah terjamin keamanannya.

Fasilitas militer telah memiliki sarana yang lengkap seperti kamar tidur, kamar mandi, perabotan, sarana olahraga dan taman.

Ada dua lokasi yang saya rasa layak sebagai tempat pemusatan karantina, yaitu Rindam Iskandar Muda di Mata Ie, dan Sekolah Polisi Negara (SPN) di Seulawah.

Apabila dianggap terlalu jauh jika semua ODP dari berbagai kabupaten dikarantina di pusat provinsi, maka bisa dibagi ke Lhokseumawe untuk wilayah utara, timur dan tengah, kemudian di Meulaboh untuk wilayah barat dan selatan.

Di kota Lhokseumawe dan Meulaboh terdapat Komando Resort Militer (Korem) masing-masing.

“Jadi ringkasnya poin-poin yang saya sarankan adalah menutup semua jalur, termasuk jalur tidak resmi. Tidak ada yang bisa masuk ke Aceh dan tidak ada yang bisa keluar dari Aceh hingga batas waktu yang ditentukan,” kata dia.

Lalu, semua warga Aceh yang sedang berstatus ODP harus dikarantina secara terpusat di fasilitas militer sampai dipastikan negatif.

Semua warga Aceh yang sedang berstatus PDP harus menjalani perawatan di rumah sakit sampai sembuh.

“Apabila hal ini diterapkan, maka saya yakin penularan virus corona di Aceh akan terhenti. Karena yang di dalam sudah dilindungi, dan yang diluar tidak bisa masuk. Dengan demikian kegiatan perekonomian masyarakat Aceh masih bisa tetap berjalan,” kata dia.

Menurutnya, tidak perlu jam malam dan bahkan tidak perlu penutupan usaha milik masyarakat.

“Kalau dengan penutupan jalur masuk ke Aceh dikhawatirkan akan mengganggu stok bahan pokok, peralatan medis, BBM dan sebagainya, maka bisa dibuat pengecualian bagi truk pengangkutan, pesawat cargo dan kapal barang,” demikian menurut Teuku Irwan Djohan.