Menelisik Skema Bisnis PLN

Oleh : Erizely *)
Angin laut menyapu balkon lounge tempat aku, Amel dan Richard duduk. Mereka adalah sahabatku lebih dari 20 tahun. Dari sini, lampu-lampu kota Singapura berpendar seperti sirkuit listrik raksasa. Richard menyesap kopinya, lalu menatapku dengan tatapan serius.
“Mel, aku tahu kamu punya bisnis dengan PLN di Jakarta. Tapi pernah nggak kamu lihat bagaimana China mengatur listriknya? Itu levelnya… beda kelas.” Kata Richard.
Amel tersenyum tipis. “Maksudmu soal energi terbarukan China?”
“Bukan cuma itu. “ Kata Richard mengibaskan tangan. “ Ini soal integrated policy design. China membangun Ultra High Voltage Transmission, UHV. Kabel listriknya bisa bawa daya ribuan kilometer dari Tibet dan Xinjiang. Energi listrik dari angin dan hidro, di-transmisikan langsung ke pusat industri di Shanghai dan Guangzhou. Kerugian transmisi nyaris nol. Dengan begitu, mereka bisa matikan PLTU tua di kota-kota besar tanpa bikin listrik drop.”
Amel mencondongkan badan, memutar gelas di tangannya. “Itu efisien… dan sustain. Tapi UHV itu investasi besar. Di Indonesia, wacana transmisi lintas pulau saja sering mentok di studi kelayakan. Makanya Jawa overcapacity , pulau lain malah kekurangan. “
“Itulah bedanya.” Timpal Richard “ China punya keberanian eksekusi dan konsistensi kebijakan. Mereka nggak cuma bangun pembangkit, tapi juga smart grid dan demand-side management. Bayangin, mereka bisa atur beban industri lewat kontrol digital real time. Puncak beban bisa di-shift, menghindari pemborosan.”
Aku mengangguk. “Dan ini bikin portofolio energi terbarukan China bisa tumbuh cepat. Aku baca, target 1.200 GW terpasang untuk angin dan surya tercapai bahkan sebelum 2025.”
“ Oh ya? Amel melotot.
Aku tersenyum. “Benar. Dan China mengikatnya dengan strategi elektrifikasi. Transportasi, industri, rumah tangga, semua diarahkan ke listrik bersih. Jadi konsumsi energi naik, tapi emisi tetap turun.”
Amel mengangguk lambat.
“ Nah bagaimana dengan financial performance dari PLN ? tanya Richard.
“ Tanpa dukungan pemerintah ya pasti rugi. Setiap tahun dapat dana konpensasi dari Pemerintah. Tahun 2023 dana kompensasi sudah mencapai Rp 143 triliun. Tahun 2022 Rp. 123 triliun. Dari tahun ketahun terus meningkat. Dengan subsidi, PLN justru mencatat laba bersih sekitar IDR 22 triliun. Ini menunjukkan ketergantungan finansial yang tinggi terhadap APBN. “ Kata Amel.
PLN berhasil mencetak arus kas operasi positif dan memperkuat saldo kas, itu tanda pengelolaan keuangan yang relatif stabil. Namun, likuiditas masih rentan, karena rasio likuiditas utama berada di bawah ambang sehat. Itu menunjukkan ketergantungan pada kas subsidi dan dukungan fiskal. Artinya Subsidi pemerintah masih menjadi “penyelamat” utama; tanpa itu, PLN berisiko merugi besar.
Operating Cash Flow PLN pada tahun buku 2024 tercatat sebesar IDR 75,4 triliun. Menurut Lembaga pemeringkat Fitch. Prediksi arus kas operasi yang stabil di rentang IDR 80–90 triliun memberikan ruang perbaikan, tapi masih belum cukup untuk mengurangi ketergantungan kas subsidi di masa depan.
“ Artinya skema bisnis PLN memang sengaja dibuat rugi agar semakin besar ketergantungan kepada APBN. Terutama skema IPP dan DMO. Itu menguntungkan oligarki sebagai bagian dari state capture ” lanjut Amel.
“ Mel,” kataku, “kamu tahu kenapa PLN itu seperti orang yang badannya kelihatan sehat, tapi napasnya ngos-ngosan kalau naik tangga?”
Amel tertawa kecil. “Apa karena mereka DER-nya sehat?”
Aku menggeleng. “ DER, Debt to Equity Ratio PLN rapi. Ekuitas besar, utang kelihatan terkontrol. Tapi itu hasil revaluasi aset, bukan hasil keringat kas masuk. Neraca kelihatan kinclong, tapi rekening banknya tetap tipis.”
Amel menyenderkan punggung, mencoba membayangkan angka-angka itu. “ Bisa benar itu. Ambil contoh kontrak dengan IPP,” Katanya. IPP ( independent Power Producer) adalah skema di mana pembangkit listrik dimiliki swasta, tapi listriknya dijual ke PLN melalui kontrak jangka panjang Power Purchase Agreement (PPA).
“Mereka punya Power Purchase Agreement 20-30 tahun. Isinya klausul take-or-pay. PLN wajib bayar listrik walau nggak dipakai dan capacity payment , bayar biaya kapasitas pembangkit walau idle. Di Jawa-Bali, cadangan daya sampai 40%, tapi PLN tetap bayar full capacity.” Lanjut Amel.
Ricard mengerutkan dahi. “Berarti kalau listrik dari pembangkit swasta nggak dipakai, PLN tetap bayar, PLN tetap cashout?”
“Ya. Sama seperti kamu sewa mobil tiap bulan tapi cuma dipakai sekali seminggu. Mau dipakai atau nggak, bayar tetap jalan. Dan uangnya itu keluar dari kas operasi, bukan dari pinjaman baru.” Kata Amel.
Richard menyesap kopi. “Lalu DMO batubara?” tanyanya. Domestic Market Obligation (DMO) bahan bakar (batubara atau gas) adalah kebijakan di mana produsen wajib menjual sebagian produksi ke pasar domestik (PLN & IPP) dengan harga patokan.
Amel tersenyum tipis. “Harga batubara PLN dipatok USD 70 per ton. Tahun 2022 harga dunia sempat di atas USD 300. Di satu sisi, ini menekan biaya listrik rakyat. Tapi di sisi lain, bikin PLTU jadi must-run, karena biaya produksinya jadi kelihatan murah. Ini mengunci ketergantungan ke batubara dan bikin investasi EBT kalah saing.”
Aku mengangguk. “Dan selisih harga itu… ruang untuk rente”
Amel hanya tersenyum, tak menjawab langsung. Aku tahu dia berbisnis dari rente itu sebagaimana pengusaha yang punya bisnis dengan PLN.
“Masalah lain ” Aku melanjutkan, “skema pembiayaan PLN. Karena ekuitas besar dari revaluasi aset, DER terlihat sehat. Tapi tidak semua aset itu produktif. Ada pembangkit mangkrak, jaringan transmisi yang belum nyambung ke pusat beban. Bunga utang tetap jalan, walau aset belum menghasilkan.”
Amel memotong, “Dan kebanyakan utang PLN dalam dolar atau yen, tapi pendapatannya rupiah. Semua sovereign loan. Jaminan negara.”
“Persis. Rupiah melemah, beban bunga naik. Lindung nilai (hedging) tidak selalu penuh karena mahal. Tambah lagi kompensasi subsidi dari APBN sering telat, PLN terpaksa ambil bridging loan berbunga tinggi. Ini yang saya sebut structural cash drain.” Kataku.
“Lihat, arus kas PLN itu seperti ember bocor “ Kata Amel sambil tulis diagram diatas kertas tissue. “ Bayar kapasitas IPP, itu bocor pertama. Harga DMO yang bias, itu bocor kedua. Aset tidak produktif tapi utangnya jalan itu bocor ketiga. Subsidi telat cair, itu bocor keempat.”
Richard melihat diagram itu dan geleng geleng kepada . “ Wah ini skema bandit. “ Katanya geleng geleng kepala. “ Bagaimana mungkin negara religious bisa berbuat seperti ini?
“ Ya begitulah kenyataanya. Memang harus ada pembenahan dari desainnya, bukan sekadar potong biaya.” Kataku.
Aku menatap ke arah Marina Bay yang memantulkan cahaya kota. Kalau PLN bisa meniru blueprint China, fokus ke transmisi efisien, smart grid, elektrifikasi luas, Indonesia nggak akan terjebak dalam ilusi DER sehat tapi kas cekik. Masalahnya, kita terlalu sibuk merapikan neraca, bukan arus kas.
“Dan terlalu banyak moral hazard di kontrak IPP dan DMO batubara. “ Richard mengangguk. Baru paham dia.
“ Apa solusi untuk pln agar bisa efisien dan sustain ? Tanya Amel kepada Richard. Richard punya bisnis Asset management. Dia adalah teman saya yang juga investor associate global saya.
Richard terdiam sebentar. Kemudian dia Tarik napas. “ Pertama. Renegosiasi PPA di Sistem Oversupply. Ubah capacity payment jadi berbasis availability & performance. Tawarkan early retirement untuk PLTU tertentu dengan pembiayaan transisi (JETP/ETP). Kedua. Reformasi DMO. Transparansikan kuota dan arus kompensasi. Hubungkan harga DMO dengan target bauran energi, bukan hanya kontrol tarif. Ketiga. Perubahan KPI Keuangan. Gunakan FFO/Net Debt dan interest coverage sebagai indikator kesehatan finansial, bukan hanya DER.
Keempat. Penguatan ALM & Hedging. Lindungi eksposur valas minimal 12–24 bulan ke depan. Gunakan natural hedge dari kontrak ekspor listrik atau penjualan REC (Renewable Energy Certificate). Kelima. Prioritisasi Capex Berbasis ROI Kas. Stage-gated financing untuk proyek jaringan dan pembangkit. Stop proyek tanpa cash-backed use case.”
Amel acungkan jempol.
Kami terdiam sebentar. Hanya terdengar denting sendok di gelas dan gemerisik angin malam.
Richard menyesap kopi terakhir. “Jadi, kalau mau efisien dan sustain, Indonesia harus belajar dari China: Di China, harga bahan bakar memang diatur, tapi tujuannya sinkron dengan bauran energi, bukan untuk melindungi rente. Desain sistem dari hulu ke hilir, bukan tambal sulam. Sisanya… soal keberanian politik.”
Aku mengangguk. “Keberanian, Rihcard, Itu yang membedakan negara visioner dari negara yang terjebak kompromi.”
*) Praktisi Bisnis dan Blogger