Penetapan Harga Singkong Ciptakan Keadilan Ekonomi

Penetapan Harga Singkong Ciptakan Keadilan Ekonomi
Ketua ISEI Lampung, Usep Syaipudin | Foto: Istimewa

BANDARLAMPUNG — Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Lampung menilai kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung yang menetapkan Harga Acuan Pembelian Ubi Kayu (singkong) dengan berbagai kreteria tertentu. Hal ini  merupakan langkah penting  menciptakan keadilan ekonomi bagi petani dan pelaku usaha.

Ketua ISEI Lampung, Usep Syaipudin menjelaskan bahwa Pergub Lampung Nomor 36 Tahun 2025 Tentang Tatakelola dan Hilirisasi Ubi Kayu di Provinsi Lampung, menjadi bentuk komitmen Pemprov dalam melindungi petani dari permainan harga sekaligus memastikan industri tapioka tetap beroperasi secara sehat dan menguntungkan.

Kebijakan ini  berpihak kepada seluruh pelaku tata usaha tani ubi kayu.  Kebijakan ini mengedepankan keseimbangan antara kepentingan petani dan industri. Petani harus terlindungi, sementara dunia usaha tetap memiliki ruang untuk tumbuh.

ISEI menilai persoalan harga singkong merupakan masalah struktural yang telah berlangsung lama. Struktur pasar yang oligopsoni (sistem pasar dimana lebih banyak penjual dibandingkan pembeli), lemahnya kelembagaan petani, dan minimnya hilirisasi produk menjadi faktor utama rendahnya kesejahteraan petani.

Usep Syaipudin menambahkan bahwa terjadinya polemik yang terjadi terkait berbagai permaslahan singkong di Lampung, menurutnya  diperlukan transparansi dari pihak pengusaha tentang struktur biaya produksi pembuatan tepung tapioka.

"Diperlukan transparansi dari perusahaan tentang biaya produksi pembuatan tapioka, karena jika harga tapioka tidak pernah turun seharusnya harga singkong pun tidak berubah," tegas Usep dalam keterangannya Senin (10-11-2025).

Lebih lanjut Usep menyampaikan bahwa permasalahan tata niaga singkong saat ini pelaku usaha industri atau pabrikan dihadapkan pada situasi saling ketergantungan dan adanya dinamika harga singkong yang terjadi di Lampung. Menurutnya,  boleh jadi pabrikan punya dua pilihan, yaitu pabrikan akan terus melanjutkan proses tata niaga dan produksinya dengan menyerap produk petani singkong atau justru menghentikan proses produksi di pabrik-pabriknya.

"Situasi ini tentu akan berakibat pada akhirnya petani akan secara rasional untuk mencoba mengganti komoditas dengan selain singkong," ungkapnya.

Usep menambahkan bahwa jika petani mengalihkan  komoditas selain singkong membutuhkan proses yang panjang, menurutnya aspek kultural masyarakat (petani) sangat menentukan dalam pengalihan budidaya dari singkong ke komoditas selain singkong.

ISEI merekomendasikan agar Pemprov Lampung memperkuat kelembagaan petani melalui koperasi, membangun kemitraan yang transparan saling menguntungkan antara petani dan pabrik, serta mendorong hilirisasi produk singkong agar nilai tambah lebih besar dirasakan di tingkat petani.