Jejak Awal Nasionalisme Progresif Di Tanah Hindia Belanda (1-Bersambung)
Konsep tentang Nasionalisme dalam kajian Post Colonial atau Paska kolonial, menduduki peran yang sangat penting, bukan hanya sebagai energi bagi perjuangan anti-kolonialisme di seluruh dunia, utamanya di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia.

"Tanpa peran besar Tirto Adhisuryo (TAS), niscaya para Pejuang Kemerdekaan berikutnya, seperti : Cokro Aminoto, Haji Samanhudi, Sutomo, Ki Hajar Dewantoro, Marco Kartodikromo, Semaun, Alimin, Tan Malaka, Haji Misbach, Ali Archam, Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, Muso, Cipto Mangun Kusumo, Muh.Yamin, Soekarno, Hatta, Amir Syarifudin, Sutan Syahrir, dan lain lain.
Penulis : Lucas Dwi Hartanto *)
Mereka semua masih harus menghabiskan waktunya untuk mencari Identitas Nasionalisme di Tanah Hindia-Belanda."
1. Pendahuluan, Tinjauan Singkat Kedudukan Identitas Nasionalisme dalam Kajian Paska Kolonial.
Nasionalisme sendiri pertama berkaitan dengan sebuah konsep tentang identitas sebuah bangsa atau “Nation”, ditengah dominasi penjajahan bangsa asing yang berkontradiksi dengan kepentingan atau bangsa yang dijajah. Bentuk-bentuk penjajahan asing (kolonialisme) ini terjadi dalam berbagai bidang, dengan sekalanya yang luas. Praktek kolonialisme yang di barengi dengan Imperialisme, lebih sering dipenuhi oleh wajah kekerasan terhadap korbanya, yaitu bangsa-bangsa yang dijajah.
Penelitian tentang identitas nasionalisme juga selalu berkaitan erat dengan akar sejarah akan identitas nasional sebuah bangsa, atau bagaimana embrio kelahiran identitas nasional sebuah bangsa itu dipahami dan mulai membangun dirinya.
Konsep nasionalisme pada umumnya merupakan aspek penting dari sejarah moderen sebuah bangsa tersebut, pada saat dan dengan cara apa kemudian dia mengidentifikasikan dirinya sebagai subyek bangsa, atas narasi identitas bangsanya dalam dunia kontemporer hari ini.
Kajian tentang identitas nasionalisme tak dapat dipungkiri berlangsung sangat dinamis dan penuh perdebatan, terutama diantara para pemikir Poskolonial dan berbagai disiplin ilmu sosial lainya sejak awal kemunculanya hingga hari ini.
Pertama, Ania Lomba sebagai salah satu pemikir Post Colonial dalam bukunya “Kolonialisme / Pascakolonialisme”, pada Halaman 239 dan 240, menjelaskan :
“Maka Perjuangan-perjuangan anti kolonial harus menciptakan identitas-identitas baru yang kuat bagi rakyat-rakyat terjajah, dan menentang kolonialisme bukan saja pada tingkat politis atau intelektual, tetapi juga pada tingkat emosional. Dalam berbagai konteks, gagasan bangsa adalah wahana yang kuat untuk menyatukan energi-energi anti kolonial pada semua tingkatan”.
Dari beberapa tulisan pembelaannya atas kaum Bumiputera yang berasal dari kelas menengah dan dari kelas bawah inilah, kemudian Tirto merumuskan sebuah pencarian identitas awal nasionalisme, yaitu bangsa yang “MEMERENTAH” dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda, dan bangsa yang “TER-PERENTAH” dalam hal ini semua Suku-Bangsa baik yang berasal dari suku-suku Bumiputera yang sudah ada di Nusantara sendiri, juga Bangsa Indo dan peranakan Timur asing seperti Tionghoa, Arab, India dan lain-lain, yang hidup dan tinggal di tanah Hindia pada saat itu.
Apa yang dilakukan Tirto dalam mengidentifikasi Nasionalisme Hindia ini, menunjukkan kemampuanya dalam menyatukan energi-energi anti kolonial secara lebih luas dari masa sebelumnya.
Sementara Leela Gandi pada bukunya halaman 129, mengutip Ernest Gellner menjelaskan bahwa :
“Kemunculan nasionalisme dengan perubahan yang berhubungan dari Ekonomi Pra-Industri ke ekonomi Industri, sebagai bentuk-bentuk organisasi sosial yang menjadi lebih kompleks dan bervariasi”.
“ ... Mobilitas, komunikasi, ukuran menurut perbaikan spesialisasi, yang ditentukan oleh masa Industri, dan oleh kebutuhan akan pertumbuhan dan kemakmuran – mengharuskan unit-unit sosial-nya menjadi besar dan secara kultural tidak homogen. Pemeliharaan kebudayaan sejenis ini yang mutlak tinggi (karena terpelajar) memerlukan perlindungan dari sebuah bangsa...” (Galner 1983, hlm.141).
Pengaruh Industrialisasi di Hindia ini kemudian melahirkan kelas menengah Pribumi atau bumiputera baru yang terpelajar, juga munculnya kelas pekerja kasar, orang particculier (swasta), pedagang, pengusaha Bumiputera dan lain-lain. Hal ini menjadi petanda lahirnya tatanan sosial masyarakat yang baru dari sebelumnya di Tanah Hindia.
Kemudian bagaimana munculnya budaya baru, alam moderen berupa budaya baca-tulis diperkenalkan dalam sekolah-sekolah Belanda, yang diikuti oleh lahir dan menjamurnya Pers pribumi yang ditulis sendiri oleh kaum Bumiputera, yang nanti akan kita temui pada Sosok Tirto Adhisuryo, yang pada akhirnya melahirkan Identitas Nasionalisme progresif Bangsa Hindia.
Leela Gandi dalam bukunya "Teori Postkolonial, Upaya meruntuhkan Hegemoni Barat", mengutip perkataan Franz Fanon, menjelaskan bahwa :
“Nasionalisme merespon kekerasan kolonialisme dengan memperbesar solidaritas vertikal antara kaum tani, pekerja, pemilik modal, pemilik tanah feodal dan kaum borjuasi”. (hlm :138)
Latar belakang singkat sosok Tirto Adhisuryo, dan situasi umum Kolonialisme Belanda di Zaman Modal.
Raden Mas Tirto Adhi Soeryo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880, meninggal tanggal 7 Desember 1918. Nama kecilnya Djokomono, ia adalah cucu dari Bupati Bojonegoro R.M.T. Tirtonoto, sedangkan ayahnya adalah R.Ng. HM. Chan Tirtodipoero adalah seorang pegawai kantor pajak (Collectteur).
Djokomono kecil ini mengenyam pendidikanya di sekolah dasar belanda ELS (Europeech Lagere School), Kemudian melanjutkan ke HBS, setelah lulus pada umur 14 tahun kemudian dia melanjutkan sekolah dokter STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen) di Jakarta. Dia tidak sempat tamat hanya sampai tingkat empat. (Sang Pemula, hlm : 29).
Dari asal-usul keturunan ini menunjukkan bahwa Tirto Adhi Soeryo adalah keturunan bangsawan Jawa, yang kala itu memiliki kesempatan sedikit lebih luas ruang geraknya dibandingkan kaum Bumiputera kebanyakan, yang berasal dari kelas bawah atau kaum Kromo rendahan.--- Bersambung
*) Penliti Sastra Sejarah dan Blogger