With or Without RUU Cipta Kerja

Oleh : Okihita Hasiholan Sihaloho *)

RUU CILAKA adalah necessary evil supaya angkatan-kerja Indonesia memutar otak, mengembangkan usahanya sendiri. Ketahanan ekonomi sebuah negara meningkat seiring jumlah penduduk yang bermental wirausaha. RUU CILAKA bertujuan mematikan orang-orang yang lambat dan bersantai-santai.

RUU CILAKA adalah pelampiasan kekesalan Pemerintah kepada kaum pekerja yang rendah kompetensi, lambat produksi, sering mogok, dan playing victim. Di mata RUU CILAKA, serikat pekerja adalah penghambat kemakmuran—orang-orang yang dikasih hati minta jantung.

Betul, RUU CILAKA menghapus perlindungan-hukum terhadap pemasukan dan employment para pekerja. Tidak ada jaring pengaman; semuanya persaingan bebas. Setelah RUU CILAKA, satu-satunya yang bisa melindungi pemasukan para pekerja adalah keterampilan dan produktivitas mereka sendiri.

Tanyakan ke para HRD di berbagai perusahaan: Pekerja—khususnya kerah-biru—Indonesia itu banyak yang lamban, mahal, dan penuh-drama. Buka usaha di Indonesia susah balik modal. Tenaga kerja Indonesia kalah saing ketimbang suplai dari negara tetangga. Kualitas rendah, harga tinggi.

Saat ini, ada ~7 juta orang pengangguran di Indonesia. Tidak ada pemasukan. Tidak ada lowongan kerja. Berbagai organisasi Serikat Pekerja sama sekali tidak peduli akan nasib angkatan-kerja baru yang masih menganggur ini—mereka hanya mementingkan diri sendiri dan anggota sendiri.

Bagi para pengangguran ini, jauh lebih baik diupah-seadanya dibanding tidak punya pemasukan sama sekali dan tidak makan. Tapi angkatan-kerja yang sudah berstatus buruh/karyawan tidak mau berbagi lahan dan kesempatan kerja, karena artinya gaji dan tunjangan mereka akan berkurang.

Dengan segala kekurangan dan keburukannya, saat ini RUU CILAKA diperlukan untuk menyambung nyawa orang-orang yang saat ini menganggur. Kemakmuran dan pemerataan kesejahteraan adalah hak seluruh anggota angkatan-kerja, bukan cuma hak mereka yang sudah diterima jadi karyawan saja.

RUU CILAKA punya dua tujuan sekaligus: (1) Menurunkan biaya operasional termasuk harga tenaga-kerja Indonesia, supaya investor tidak takut membuka usaha di Indonesia. (2) Mendorong orang-orang kompeten untuk mempertimbangkan berwirausaha ketimbang menjadi buruh dengan income seadanya

Tiap orang selalu punya pilihan untuk memilih mau bersaing atau bergabung dengan siapa. Versus tetangga.? Bisa. Bersaing dengan usaha temen? Bisa. Bersaing dengan pedagang bakmi di kompleks sebelah? Bisa. Konsumen-lah yang akan memilih produk dan layanan mana yang layak bertahan.

Catatan: "Wirausaha" di sini bukan terbatas "mempekerjakan orang". Bentuk utama wirausaha adalah self-employment. Freelance. Pemasukan berbasis komisi dan pembelian, bukan berbasis-gaji. Bentuk usahanya nggak terbatas—termasuk cuci sepatu, jual gorengan, nerjemahin, dan makelar.

Iklan Layanan Masyarakat: Jangan lupa dukung [dan beli dari] usaha di sekitar kamu; kasih masukan supaya kualitas produk dan layanannya terus meningkat. Masyarakat makmur adalah masyarakat yang mandiri, kreatif, tahan-banting, dan terus-menerus berkembang sesuai tantangan zaman.

Betul. Cepat atau lambat, rezim akan mengesahkan RUU CILAKA. Mungkin akhir 2020 atau awal 2021. Nggak ada solusi-realistis lainnya buat menangani 12 juta orang pengangguran. Daripada 12 juta orang itu jadi kelaparan dan jadi kriminal, rezim lebih memilih dihujat Serikat Pekerja.

RUU CILAKA mengurangi upah dan fasilitas buruh, agar hanya orang yang benar-benar "bingung mau kerja apa lagi"-lah yang melamar menjadi buruh kerah-biru. Yang sanggup wirausaha, harap berwirausaha. Mandiri. Swadaya. Jangan bercita-cita jadi pembantu di pabrik-orang seumur hidup.

AMDAL (+ IMB) adalah pusat korupsi. AMDAL adalah lahan paling-basah bagi pemda, ormas, dan parpol untuk memalak wirausahawan yang ingin memulai usaha. Di Omnibus Law, tetap ada AMDAL. Yang diubah adalah "siapa yang mengurus". Yang awalnya Pemda, ingin dijadikan kewenangan Pusat.

Masyarakat-umum mungkin mengira Pemda adalah perpanjangan-tangan dari Pemerintah Pusat. Itu anggapan salah. Pemda dan Pusat adalah dua entitas terpisah yang nggak akur-akur banget saling berebut kue. Omnibus Law ada karena Pusat menganggap "kue yang direbut Pemda terlalu besar".

RUU CILAKA adalah perang-kepentingan antara Rezim Pusat dengan rezim-rezim kecil lainnya. Bagian "pemotongan tunjangan, pesangon, cuti" adalah perang Pusat dengan elemen Serikat Buruh demi memberantas pengangguran. Bagian sentralisasi-AMDAL adalah perang melawan kerakusan Pemda.

Rezim-rezim kecil seperti ormas-ormas Serikat Buruh mendapat miliaran rupiah tiap bulan, dari iuran sukarela par buruh yang diajak baik baik untuk bergabung. RUU CILAKA akan mengurangi bonus dan tunjangan buruh, yang akan berdampak pada menurunnya setoran-anggota kepada ormas.

Rezim-kecil lainnya tentu saja kroni Bupati, geng Kades, dan preman LSM yang cari jatah. Saling jegal, saling bunuh berebut jatah AMDAL. Apakah salah minta jatah? Tidak juga.  Aktivis dan pejabat juga mau punya mobil dan ingin menguliahkan anak-anaknya. Gaji dan hibah mana cukup?

RUU CILAKA bukan narasi "Good vs Evil"—melainkan "Evil vs Evil". Keegoisan satu pihak melawan keegoisan pihak lainnya. Benturan kepentingan Rezim Pusat dan rezim-rezim kecil (yang mengatasnamakan rakyat).  Katalis perangnya adalah 13-juta-orang pengangguran-tidak-berketerampilan.

RUU CILAKA tidak akan pernah diperlukan seandainya semua anggota angkatan-kerja Indonesia bisa mandiri dan kreatif dalam mencari penghasilan. "Nggak ada lowongan? Ya udah, gue bikin usaha kecil-kecilan sendiri. Toh gue punya keterampilan yang dibutuhkan orang-orang sekitar gue."

Sayangnya, realitanya tidak begitu. [Akan] ada 13 juta orang pengangguran-tidak-berketerampilan yang tidak bisa apa-apa kecuali kerja-kasar. Indonesia sampai di titik ini karena kombinasi dari pandemi, perubahan zaman, persaingan bebas, budaya hidup-santai, dan ledakan populasi.

Oh dan tentunya karena pengaruh budaya "banyak anak banyak rezeki". Ada jutaan orang-tua yang menikah semuda mungkin dan memproduksi anak sebanyak mungkin dengan tujuan jaminan hari tua. Menganggap anak sebagai investasi walaupun tidak mampu membiayai. Hasilnya.? Bonus Demografi.

Apalagi keluarga beranak banyak yang tinggal di wilayah pedesaan dan sub-urban. Anak-anaknya yang nihil keterampilan mau mencari penghasilan dengan cara apa? Slot-kerja non formal sebagai buruh-tani sudah penuh. Pilihan yang feasible adalah urbanisasi, menjadi buruh di kota besar.

Apakah kamu bagian dari (calon) 13-juta pengangguran-tidak-berketerampilan? Kalau enggak, kamu aman—walau nggak selamanya. Kalaupun ya, semoga nggak lama-lama. Semoga kamu jadi orang yang nggak perlu menggantungkan penghasilan kepada ada-tidaknya lowongan yang dibuka orang-lain.

Sebisa mungkin dan sedini mungkin, berwirausahalah. Cari uang, bukan cari kerja. Uang itu ada di mana-mana. Tetangga, teman, dan keluarga-besar kamu punya uang. Dalam radius satu kilometer dari tempat-tinggal kamu, ada puluhan—mungkin ratusan—juta rupiah yang bisa kamu dapatkan.

Bentuk utama wirausaha adalah "mempekerjakan diri sendiri". Cari klien sendiri. Menemukan kebutuhan orang-orang di sekitar kamu, lalu memenuhi kebutuhan itu dengan harga yang tepat. Tawarkan jasa, produk, layanan, atau bentuk kerja-sama apa pun yang akan sama-sama menguntungkan.

Kalau perlu, belajar hal-hal baru dari-nol, demi memenuhi kebutuhan pelanggan. Tidak perlu menunggu gelar atau sertifikasi. Rumah-rumah di sekitar kamu catnya bapuk, sementara kamu pengangguran yang tidak-berketerampilan? Belajar ngecat, tawarkan diri jadi kontraktor pengecatan.

Gelar sudah tidak berguna pendidikan dan sertifikasi formal bukan jaminan keterampilan. Bayangkan, ada yang menghabiskan umur 4 tahun dan biaya 150 juta di kampus swasta berakreditasi A, lalu di akhir masa kuliah skripsinya ngebahas tanda-tanda Dajjal di tiga episode Spongebob.

Tidak perlu menunggu diajar dosen atau diwisuda oleh rektor. Mandiri aja cari mentor. Perkenalkan diri-sendiri kepada orang-orang yang kamu anggap sukses, lalu minta izin konsultasi karir dan wejangan. Pendidikan-formal itu buta kebutuhan pasar, tidak bisa sepenuhnya diharapkan.

Sebisa mungkin dan sedini mungkin, berwirausahalah. Buat dirimu sekebal-mungkin terhadap ada-tidaknya RUU CILAKA. Jika kerja adalah perbudakan, melamar kerja artinya secara sukarela menyerahkan diri menjadi budak orang lain—sementara berwirausaha adalah memperbudak diri sendiri.

Atau kalau pasar buat produk kamu sudah jenuh/saturated dan mentok, bekerja-samalah. Cari kamerad yang bisa dipercaya, putar-otak bikin proyek bareng. Kembangkan usaha-mikro jadi usaha-kecil. Kembangkan usaha-kecil jadi usaha-menengah. Kembangkan usaha-menengah jadi usaha-besar.

Tidak punya keterampilan yang dibutuhkan masyarakat? Tidak ada keberanian untuk menawarkan jasa? Tidak punya kemauan belajar dan memproduksi hal baru? Tidak punya niat aktif berkontribusi dalam ekonomi dan kemakmuran.? Mungkin sudah saatnya kamu punah. With or without RUU CILAKA.

Betul, RUU CILAKA sama sekali tidak menjamin kesejahteraan seluruh orang. Namanya juga pro Pasar Bebas. Pada dasarnya RUU CILAKA mengembalikan tatanan-ekonomi Indonesia ke hakikat hukum rimba: Yang (bisa membuktikan dirinya) berguna akan terus ada, yang tidak berguna akan punah.

Intinya hidup itu dari sononya udah susah Gaesss,  Orang yang seumur hidup pengennya manja dan leha leha doang ya banyak. Orang yang pengen hidup santai dan pengeluaran ditanggung orang lain ya banyak. RUU CILAKA tujuannya mempercepat kepunahan orang-orang yang nggak mau mandiri.

(Threadnya jangan ditelan mentah-mentah. Silakan kroscek secara mandiri sama realita yang ada, baik lewat googling atau wawancara sama pihak terkait. Mau pro atau kontra RUU CILAKA, adalah fakta-empiris bahwa butuh tekanan eksternal buat usaha. Orang bakalan kreatif kalo kepepet.)

*) : Content Creative dan Praktisi Digital Ekonomi

SOURCE : https://bacautas.com/1293585964271431682