Misoginisme Menyertai Film Tilik

Oleh : Ernawati *)

Pagi dimulai dengan kegusaran di WAG karena poster yang tidak menyebutkan dampak spesifik RUU Omnibus Law terhadap perempuan lalu tentang film pendek "Tilik". Semula aku malas nonton film itu walaupun kmarin di WAG lain film ini banyak mendapat pujian (komentatornya memang laki-laki semua) tapi pagi ini ternyata ada pendapat lain dan lebih banyak berisi kritikan tentang betapa misoginisnya film ini.

Jadi, sore ini aku nonton film itu. Aku jadi ingat status FB yang ku buat setelah membaca bukuTatapan Perempuan : Perempuan Sebagai Penonton Budaya Populer
Penulis: Lorraine Gamman dan Margaret Marshment.

Kedua penyunting buku ini adalah dosen bidang kajian perempuan, Lorraine Gamman mengajar di Middlesex Polytechnic dan Margaret Marshment mengajar di University of Kent
"Dan apa yang telah dilakukan oleh film Spielberg pada The Color Purples-Alice Walker
Ketika perempuan berhenti mendefinisi diri dalam hubungannya dengan laki-laki, maka mereka cenderung bisa menemukan kebahagiaan dalam diri mereka sendiri”.

 

Misoginis merupakan sebuah sindrom yang menyebabkan seseorang membenci perempuan, baik dari pria maupun dari sesama perempuan. Sindrom ini sering menempatkan dan memandang perempuan sebagai penyebab kesalahan dalam satu masalah. Misogini mengakibatkan seseorang cenderung membenci, memandang rendah, dan mendiskriminasi perempuan.

Dalam film (Hollywood) perempuan diposisikan secara pasif sebagai tontonan sexual, seperti memang untuk 'dilihat' dan penempatan posisi aktif pemeran laki-laki sebagai penentu pandangan. kenikmatan ini diidentifikasi sebagai salahsatu struktur sentral sinema dominan, yang dikonstruksi berdasarkan hasrat maskulin. bagaimana dengan kenikmatan penonton perempuan?"

Hubungan antara kekuatan perempuan dengan kecantikannya, Dia cantik bukan karena diberkahi fisik yang cantik tapi karena memiliki rasa percaya diri akan identitas dirinya sendiri. dia cantik karena dia kuat. Satu-satu cara bagi perempuan untuk menghadapi kekuatan laki-laki adalah dengan sangat menghargai dirinya sendiri.

Tilik atau mem-bezuk orang sakit memang biasa dilakukan secara bersama baik di kota maupun di desa. Kadang menggunakan bis atau sewa Mobil. Terlepas dari aspek seinematography yang (menurut pendapat teman) bagus, sudut pengambilan gambar, lokasi dan sebagainya isi ceritanya sangat menggambarkan perempuan.

Dari dialog hingga perdebatan, semuanya disajikan secara natural. Suka atau tidak suka, kita memang harus akui, memang seperti itulah ketika para Ibu berkumpul, bergosip dengan nada negatif.

Tapi sebetulnya aku agak heran, itu settingan film tahun berapa ya? Dialognya agak kuno walaupun disisipi soal internet dan medsos.

Dari yang ku alami setiap berkumpul dengan Ibu-ibu, aku masih ikut arisan RT tiap bulan dan aku terlibat di beberapa komunitas ibu-ibu yang beragam, memang selalu bergunjing tapi era sekarang sudah lebih dewasa. Sekalipun nyinyir tapi tetap rasional, sudah bisa menerima perubahan jaman.

Misalnya tentang perempuan yang jalan dengan laki-laki, merokok, pulang Malam dan lain sebagainya. Tidak lantas langsung men-capnya sebagai perempuan 'tidak benar' selalu ada rasionalisasi. Termasuk dalam mengikuti medsos.

Justru disini misoginisnya, kenapa harus membangun dialog berisi pergunjingan negatif.? Penulis skenario tetap bisa menghasilkan dialog yang natural dengan isian yang lebih bagus. Misalnya tentang masakan, tehnologi alat masak, kebun serta lainnya.

Kemajuan tehnologi memperluas jangkauan untuk mengakses informasi. Termasuk para Ibu. Dialog saat ini ga selalu seperti yang digambarkan dalam film tersebut,


Laki-laki juga gemar bergunjing


Bukan hanya perempuan atau Ibu yang gemar bergosip atau bergunjing, kaum laki-laki juga. Aku juga memiliki komunitas yang terdiri hanya laki-laki dan aku satu-satunya perempuan. Setidaknya ada 2 komunitas para Bapak Yang se-usia denganku dan satu lagi sedikit lebih muda dari usiaku.  

Sementara komunitas anak muda yang lagi-lagi terdiri dari laki-laki dan hanya aku perempuanya dengan rata-rata usia 15 tahun lebih muda dariku (ehemmm) bahkan sekarang yang usianya (ehemm lagi...) rata-rata 24 tahun lebih muda dariku, Dan semuanya bergosip.

Memang saat berkumpul dan bergosip biasanya diakhiri dengan mengolok-olok bahkan bullying yang tidak mengurangi keakraban. Sementara di ibu-ibu biasanya justru diakhiri dengan berita terbaru mengenai masakan atau alat masak.

Misoginis lainnya, kejutan di ending. Benar-benar menampar dan membuatku ingin memaki penulisnya. Kenapa harus dibuat sosok Dian sebagai perempuan simpanan? Bisa saja kan kejutan dibuat dengan menampilkan sosok Dian sebagai perempuan yang bekerja di bidang desain atau ahli mesin yang bekerja di lapangan atau bahkan ntelijen misalnya.

Memang perempuan memiliki hak untuk memilih jadi apapun, Pekerja seks sekalipun. Tapi perempuan simpanan.? Penolakan atas kekerasan terhadap perempuan bukan hanya secara fisik namun juga posisi ini yang dapat memicu kekerasan.

Bukan berarti juga mengamini profesi Pekerja seks. Bukan masalah benar atau Salah, bermoral atau tidak, posisi kelas Pekerja seks dalam masyarakat masih terpinggirkan. Sebagai warganegara yang terabaikan


Beberapa kejanggalan dalam film ini:


Seperti pertanyaanku diatas, pertama, Film ini mengambil setting latar belakang tahun berapa sih? Selain dialog yang terlalu kuno untuk ukuran ibu-ibu yang kenal medsos, juga mimik pemeran seperti Bu Tejo, itu sinetron banget. Dari semua komunitas ibu-ibu, mimik mencibir hampir tidak pernah ada sekalipun sedang bergosip

Kedua, tilik ke rumah sakit pakai jarik dan kebaya? Mau kondangan? Haloooo....ini jaman ibu-ibu udah kenal medsos. Sekarang mah yang ada ibu-ibu pakai baju terusan dan berjilbab (baju Muslimah; maaf).  Apakah busananya dianggap sesuai untuk peran ibu-ibu dari desa? Waduhhh...ga ada tuh yang kayak gitu. Sekarang jarang banget biarpun Di pelosok, ada ibu-ibu yang pakai jarik kecuali kondangan (undangan pernikahan). Maaf lagi, Bu Tejo pakai jilbab tapi kok lengannya pendek?

Ketiga, entah mengapa, penulis skenario (script writer ya?) memilih truk, mungkin agar kelihatan eksotik. Aku berulangkali mencoba memahami itu setting lokasi dimana ya, kalo rumah sakitnya ku kenali karena aku pernah bawa anakku ke UGD disana, dengan jarak se-dekat itu dan jumlah orang yang tidak banyak, masih bisa pakai mobil sewaan, sekarang udah banyak di desa yang punya mobil. Selain itu bisa pakai pick up atau bis kota yang tadinya ambil trayek kota tapi sejak ada trans beralih trayek di desa-desa.
So I'mnot respect with this movie, not at all. Kalo diterusin bisa panjang.

Tapi beberapa peran dalam film ini juga dapat dianalisa sebagai gambaran situasi sosial politik kita. Ada fakta yang semua orang tau tapi coba ditutupi karena demi keamanan diri. Terlepas bahwa fakta itu adalah situasi yang bersifat positif atau negatif. Saling silang kepentingan membenarkan sikap manipulatif, pasif, pura-pura tidak tau dan menyerang... Segini dulu. Mending nonton film bikinan Olin Monteiro aja

*) Aktivis API KARTINI tinggal di Jogyakarta