Kejadian Pati Dan Hubungan Pusat Daerah
Desain hubungan keuangan pusat–daerah yang sengaja dibuat mendorong daerah untuk memeras sumber pendapatan lokal.

Oleh : Erizely *)
Demo di Pati, Cirebon, Bone dan Singkawang bukanlah gejala sporadis yang bisa direduksi menjadi sekadar “ketidakpuasan warga terhadap kebijakan daerah.” Di balik spanduk dan teriakan massa, ada benang merah yang mengikat semuanya: Desain hubungan keuangan pusat–daerah yang sengaja dibuat mendorong daerah untuk memeras sumber pendapatan lokal.
Sejak UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) berlaku, pemerintah pusat menanamkan mekanisme “insentif” dalam Transfer ke Daerah (TKD). Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berhasil dipungut—terutama dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—semakin besar pula alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mengalir dari pusat. Inilah politik fiskal wortel dan tongkat versi terbaru: hadiah bagi daerah yang patuh, dan hukuman sunyi bagi yang malas memungut.
Masalahnya, tidak semua daerah punya tambang, ladang migas, atau perkebunan raksasa. Bagi banyak wilayah miskin SDA, PBB adalah “urat nadi” PAD. Maka, kenaikan PBB bukanlah pilihan politik sukarela, melainkan jalan terpaksa demi mengamankan aliran dana dari pusat.
Pemerintah pusat mungkin merasa logis: APBN sedang sesak napas oleh beban bunga dan cicilan utang. Transfer fiskal harus lebih selektif; daerah harus belajar berdiri di atas kaki sendiri. Namun, logika fiskal yang dingin ini tidak mempertimbangkan realitas di lapangan: menaikkan PBB di daerah miskin berarti memungut pajak dari kantong yang sudah kosong.
Ironinya, pemerintah pusat sendiri gagal mengambil langkah berani di sektor pajak yang seharusnya lebih adil. Naikkan PPN? Rakyat protes, batal. Naikkan pajak SDA? Pengusaha protes karena harga komoditas dunia turun, batal juga. Lalu, beban digeser ke Pemda dan—pada akhirnya—ke rakyat kecil.
Kalau kita serius mencari jalan keluar, satu opsi yang selama ini dihindari adalah pajak kekayaan. Inggris pernah memungut 10% dari kekayaan orang superkaya untuk menyelamatkan fiskalnya. Hasilnya, bukan hanya kas negara selamat, tapi juga perilaku ekonomi para pemilik modal berubah: aset mati dijual, uang mengalir ke sektor produktif, dan mesin ekonomi kembali berputar.
Kita boleh saja berdebat tentang teknis dan risiko, tapi satu hal pasti: membebani rakyat kecil dengan PBB demi menambal APBN adalah resep konflik sosial yang tak akan selesai di jalanan.
Jika pusat ingin daerah mandiri tanpa menciptakan gelombang protes, maka keberanian memajaki kekayaan besar adalah ujian moral sekaligus ujian kepemimpinan. Sebab, pajak yang adil bukan hanya soal angka—tetapi juga soal keberpihakan.
*) Praktisi Bisnis dan Blogger judul: PBB, Demo, dan Akar Masalah di Jakarta