Kekuatan Dialektika Perubahan Sosial di Masa Pandemi Covid-19 Menuju New-Normal

Oleh: Bagong Suyoto*
ADA yang bilang, perubahan itu abadi di dunia fana ini. Perubahan itu terjadi dalam suatu masyarakat, negara melalui proses fungsional structural yang sangat kuat, teori Peter Blau menyadari bekerjanya proses-proses dinamis yang membentuk struktur. Dalam struktur social terdapat penyesuain (perenni al adjustment) atau (counter-adjusment) yang terungkap dalam pola-pola perubahan sosial yang bersifat dialektis.
Kekuatan-kekuatan dialektis tersebut dibahas dalam hubungan dengan (1) dilemma; (2) diferensiasi; (3) dinamika; dan (4) proses dialektiis. Berbeda dengan kebanyakan teori kaum fungsionalisme, yang mengabaikan atau mengacuhkan arti penting proses dinamis dalam masyarakat, Blau memasukan teori perubahan sosial ke dalam modelnya. Konteks ini dibahas dalam buku Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life, 1964.
Dalam kehidupan sosial terdapat banyak kekuatan kontradiktoris yang dikenal sebagai dialektika. Resiprositas (reciprocity) adalah kekuatan yang mampu menimbulkan keseimbangan struktur sosial, akan tetapi adalah suatu paradox bahwa “resiprositas yang terjadi di tingkat tertentu dapat menciptakan keseimbangan di tingkat lain. (Blau, 1964). Oleh karena itu kekuatan-kekuatan sosial tersebut dapat dikatakan memiliki berbagai implikasi yang bersifat kontrakdiktoris. Proses ini dapat digambarkan oleh usaha membenarkan tindakan yang salah, misalnya tekanan terhadap kelompok minoritas.
Sejak akhir 2019 hingga akhir 2020 terjadi banyak perubahan yang tak terbayangkan dan diprediksikan sebelumnya dialami masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan masyarakat dunia. Dunia kalang kabut menghadapi serangan Corona. Sejak terdengar adanya Corona virus, yang populer dengan Covid-19 menjangkiti rakyat Wuhan Cina, kemudian menyebar ke seluruh Asia dan penjuru dunia, termasuk Indonesia. Covid-19 berdampak pada multi-dimensi kehidupan rumah tangga, masyarakat dan negara, juga hubungan-hubungan antar negara. Kegiatan sosial budaya, kekerabatan, keagamaan berubah, dll.
Sejak pandemic Covid-19, negara/pemerintah melarang orang berkumpul, berkerumun di berbagai tempat. Warga dan masyarakat tidak boleh menyelenggarakan hajatan, kriyaan dengan jumlah orang banyak, tidak boleh ada keramaian, pesta-pesta yang melibatkan banyak orang, tidak ada acara pesta menyambut tahun baru 2021, dll. Bahkan ibadah tidak boleh banyak orang, pendidikan pun tidak boleh tatap muka. Juga menguburkan mayat tidak boleh dilakukan banyak pelayat. Gerak manusia serba dibatasi.
Sayangnya, masih ada orang-orang yang sulit dikendalikan, bahkan tak mau introsepksi tetap mengadakan hajatan dengan hiburan dangdut, akhirnya ditangkap dan dipenjarakan setelah diputus oleh pengadilan. Beberapa orang yang tetap membandel hajatan dengan mengundang banyak orang ditangkap polisi. Juga ada tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang menyelenggarakan kegiatan dengan mengumpulkan kerumusan massa. Bahkan, ada yang berkali-kali diperingatkan tetap saja membandel, bahkan membangkang pada pemerintah. Mereka menunjukkan paling hebat dan paling benar sendiri, tak menggubris pemerintah. Akhirnya, organisasinya dibubarkan, bahkan simbol dan aktibutnya dilarang beredar di Indonesia.
Perlawanan terbuka dan tersembunyi dari tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang terjadi pada akhir 2020 mengambarkan situasi yang runyam. Mereka ini bagian dari kekuatan-kekuatan sosial yang menunjukkan temperamennya, untuk selanjutnya akan ditenggelamkan oleh kerasnya dialektika proses-proses perubahan sosial yang dinamis.
Pada saat ini penguasa dan rakyat banyak ingin melindungi diri untuk bertahan hidup dari serangan penyakit tak kasat mata. Mestinya kekuatan social keagamaan itu peka dan adaptif dengan positioning yang sedang berkembang – kondisi serba darurat dan sulit, tetapi justru sebaliknya melawan arus dan melanggar hukum negara secara terang-terangan.
Situasi pandemic Covid-19 merupakan kondisi darurat dan harus ditangani secara kuat, keras dan ketat. Istilah paling kasar disebut “tangan besi”. Kepemimpinan situasional harus diperlihatkan, eksekutif tertinggi, komando tertinggi dan itu berada ditangan Presiden. Sebanyak 200 negara di seluruh dunia terjangkiti Covid-19. Bahkan ada yang melakukan lock-down. Lockdown penerapan hukumnya lebih ketat dan keras. Proses dialektika sedang berjalan dari situasi normal mengarah ke tidak normal, sangat sulit dan ketidakpastian, dalam beberapa tahun kemudian akan berada pada kondisi keseimbangan, dan normal lagi pasca-lenyapnya Covid-19 dan jenis mutasi yang baru.
Bahkan, pengelola pemerintah/negara berupaya keras agar aktivitas berjalan terus, maka ditempuh berbagai strategi dan pendekatan. Salah satunya, dikeluarkan kebijakan baru, yakni UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Suatu upaya merestrukturisasi birokrasi, mereformasi ekonomi dan menarik investasi untuk melanjutkan berbagai program pembangunan. Meskipun sejumlah kelompok masyarakat menolak kebijakan dan UU tersebut. Dalam perjalanan waktu menuju post-indutry society kebijakan dan peraturan perundangan diperlukan sebagai dasar kemajuan.
Ketika kondisi normal, belum ada Covid-19, kegiatan manusia terbuka luas, seperti pesta dengan hiburan dangdut, pongdut, orgen tunggal, wayang kulit, wayang golek bisa dilaksanakan tiga hari tiga malam, tujuh hari tujuh malam. Orang bebas keluar rumah, beraktivitas, semuanya, makan dan berkumpul di restoran, café, tempat wisata, dll bebas. Kantor-kantor, pabrik-pabrik, mall, pasar modern, pasar tradisional bebas buka siang malam dan melayani banyak orang.
Semenjak pandemic Covid-19 hampir semua kegiaan sosial budaya, keagamaan, pendidikan, kerja dan hubungan formal dibatasi dengan berbagai peraturan perundangan dan turunannya. Guna mengatasi persoalan tersebut pemerintah pusat, mulai Presiden sampai menteri-menteri-nya mengeluarkan berbagai kebijakan sangat urgen. Tentu, kita masih ingat dari awal dan beberapa bulan kemudian munculnya pandemic Covi-19 di Indonesia.
Penyebaran Covid-19 semakin meluas, juga penduduk yang terpapar semakin banyak. Meskipun Presiden Jokowi, Kapolri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Satgas Covid-19, Kepala BNPB, sejumlah menteri dan pejabat tinggi menghimbau dan melarang agar tidak keluar rumah, cuci tangan dengan sabun, social distancing, menghindari kerumunan orang, dll. Kerja, belajar dan beribadah di rumah saja.
Pemerintah Pusat mengeluarkan berbagai kebijakan berkaitan dengan penanganan Covid-19. Policy mengenai percepatan penanganan Covid-19, dasar hukum Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Salah satu pertimbangannya, bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang bersifat luar biasa dengan ditandai jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonotni, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta kesejahteraaa masyarakat di Indonesia. Maka dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19). Peraturan Pemerintah RI No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Presiden Jokowi memberikan dana tambahan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk membantu rakyat dalam situasi pandemic Covid-19, dengan rincian untuk bidang kesehatan Rp 75 triliun, bidang perlindungan sosial Rp 110 triliun, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan Rp 150 trilun untuk pemulihan ekonomi nasional. Bahkan, belakangan jumlah ditambah menjadi hampir Rp 900 triluan.
Dalam perjalanan kasus orang yang terinfeksi Covid-19 semakin banyak, bahkan sampai 04 Januari 2021 malah meningkat, beberapa daerah dinyatakan zona merah. Sementara vaksin penyembuhnya masih dalam uji laboratorium dan dites untuk orang tertentu. Pertambahan kasus Covid-19 berdampak pada bertambahnya limbah infeksius. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI limbah medis meningat 30-50%, buntutnya sangat kewalahan karena terbatasnya fasilitas pemusnahan limbah medis.
Akibatnya sebagian limbah medis dibuang di TPA sampah, sembarang tempat, seperti lahan kosong, drainase, DAS dan badan kali hingga terbawa ke laut. Limbah medis tersebut tidak boleh dibuang ke TPA, apalagi dibuang sembarangan karena sangat infeksius dan berbahaya. Dalam konteks ini tertuang dalam sejumlah tulisan Bagong Suyoto (2020).
Selanjutnya Menteri KLHK mengeluarkan surat edaran Mo. SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) tertanggal 24 Maret 2020. Dasar hukum surat edaran, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan MenLHK No. P.56/Menlhk-Setjen/2015 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.020/Menkes/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Corona Virus Tahun 2019 (Covid-19), dan SK Kepala BNPB No. 13.A tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang berlaku selama 91 hari terhitung sejak tanggal 29 Februari – 29 Mei 2020.
Namun, surat edaran dan berbagai bentuk larangan belum berjalan efektif. Pemerintah kabupaten/kota kewalahan menangani limbah medis itu. Dan, situasinya berada pada darurat limbah medis sebagaimana ditulis Harian Kompas (14/11/2020). Bahkan, sejumlah media ibukota dan asing melaporkan kondisi carut-marut pengelolaan limbah medis di Indonesia.
Kemudian Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (Ditjen PSLB3) KLHK mengeluarkan Surat Edaran No. 5.401/PSLB3/PS/PLB.0/10/2020 tetang Pengelolaan Limbah Infeksius Covid-19, tertanggal 27 Oktober 2020. Surat tersebut ditandatangani Ditjen PSLB3 Rosa Vivien Ratnawati, dan tembusannya kepada Menteri LHK, Wakil Menteri LHK, Sekretaris Jenderal KLHK, Inspektur Jenderal KLHK dan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK.
Inti surat edaran sebagai berikut: Pertama, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) atau limbah medis wajib dikelola sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasyankes. Untuk memutus mata rantai penularannya pada masa darurat pandemik ini, limbah infeksius Covid-19 diatur dalam Surat Edaran MENLHK Nomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Diseases (Covid-19).
Kedua, TPA Sampah Rumah Tangga atau Sejenis Sampah Rumah Tangga tidak diperbolehkan sebagai tempat pembuangan Limbah Medis (Limbah Infeksius Covid-19).
Ketiga, Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diminta kepada saudara Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memastikan bahwa limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan masa pandemik ini terdata dan dilaporkan pengelolaannya kepada Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK. Dengan demikian TPA dimaksud tidak dijadikan pembuangan Limbah Medis Infeksius Covid-19.
Keempat, apabila hal ini masih ditemukan dan berlangsung secara terus-menerus, maka upaya penegakkan hukum akan dilakukan, sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perkembangan di lapangan, pembuangan ilegal limbah medis masih marak, maka boleh jadi surat edaran Menteri LHK dan Ditjen PSLB3 tidak akan efektif bila dilakukan sosialisasi dan koordinasi yang integratif mulai dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga RT/RW atau komunitas. Hierarkhi dan mekanisme kerja ini menjadi penting dan diperjelas kekuataan kewenangannya sampai tingkat paling rendah. Sehingga tidak ada celah untuk mengkelabui atau membangkang terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam konteks ini KLHK harus mendapat dukungan dan kolaborasi berbagai lembaga yang terkait dengan limbah medis bekas penanganan Covid-19, diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berhubungan dengan kewenanganan pengelolaan TPA di seluruh Indonesia, Mabes Polri, Satgas Nasional Penanganan Covid-19, dll. Karena tidak mungkin KLHK bekerja sendiri, sebab luasnya lingkup wilayah, besarnya beban pekerjaan, terbatasnya kewenangan dan terbatasnya sumber daya (tenaga dan anggaran).
Sepanjang akhir 2019 hingga akhir 2020 muncul kekuatan-kekuatan dialektika perubahan social di masa pandemic Covid-19. Dalam kondisi krisis multi-demensi akibat ancaman kesehatan berimplikasi pada lingkungan hidup, yakni limbah medis, limbah B3 dan sampah bekas penanganan Covid-19. Semua itu menyebabkan munculnya pemikiran dan pandangan baru, kebijakan dan tindakan baru pengelolaan limbah medis dan sampah. Dialektika dan perubahan social, kelembagaan dan kebijakan akan terus berlangsung sampai pada titik new-normal. Kita harus menyusun peta jalan menuju new-normal pasca-Covid-19 di berbagai sektor pembangunan nasional.
*Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
*Founder Komite Aksi Pengolahan Sampah Indonesia (KAPSI)