Tim Adovkasi Temukan 11 Kejanggalan di Persidangan Kasus Pembunuhan Advokat Jurkani
JAKARTA – Tim Advokasi perJUangan Rakyat KAlimantan selatan melawaN oligarkI (Jurkani) menyatakan menemukan 11 kejanggalan dalam persidangan terkait kasus pembacokan dan pembunuhan advokat jurkani.
Anggota Tim Advokasi Jurkani, Febri Diansyah merinci kejanggalan itu. Pertama, para pembacok didalihkan sedang mabuk saat melakukan aksinya.
“Dalih tersebut terbantahkan oleh Komnas HAM secara resmi menduga kuat bahwa Advokat Jurkani sudah menjadi target pembacokan. Senada dengan itu, saksi-saksi menuturkan Para Pembacok sama sekali tidak mabuk, tidak berbau alkohol, dan normal saat di-BAP,” ujar Febri melalui keterangan tertulis, Selasa (11/1/2022).
Selanjutnya, didalihkan bahwa Advokat Jurkani menghadang mobil para pembacok. “Kondisi faktualnya, para pembacok mencegat mobil yang dikendarai Advokat Jurkani sebanyak dua kali, dan meneriakkan perkataan rasial kepada almarhum,” ungkap Febri.
Ketiga, atas pembacokan dan pembunuhan tersebut, hanya ditetapkan empat tersangka. Dari temuan Komnas HAM dan keterangan saksi-saksi di persidangan, Advokat Jurkani dikepung puluhan orang yang masing-masing menggenggam parang. Kemudian, Komnas HAM menyampaikan juga bahwa para terduga pelaku berupaya menghilangkan barang bukti.
Kelima, lanjut Febri, kepolisian mengklaim tidak menemukan indikasi keterkaitan pembacokan Advokat Jurkani dengan tambang ilegal.
“Kesimpulan tersebut cenderung prematur sebab peristiwa sebelum pembacokan nyata-nyata adalah adu argumen antara Advokat Jurkani dengan terduga penambang ilegal. Selain itu, almarhum sejak beberapa bulan terakhir giat mengadukan tambang ilegal di atas kepada berbagai instansi pemerintahan maupun aparat penegak hukum,” kata dia.
Keenam, kepolisian dinilai gagal mengungkap motif di balik pembacokan dan pembunuhan sebab sejumlah fakta Komnas HAM dan keterangan saksi sangat kontras dengan keterangan kepolisian.
Namun, hingga pelimpahan ke kejaksaan, rekonstruksi di TKP tidak kunjung dilakukan oleh kepolisian setempat. Ketujuh, kepolisian setempat hanya terpaku pada pengakuan Para Pembacok (pelaku lapangan). Dari rentetan fakta-fakta sebelumnya, tidak sulit untuk memastikan bahwa ada sosok godfather (Pelaku Intelektual) yang menyusun skenario dan memikirkan cara berkelit, guna mengkamuflase kebenaran.
Ke delapan, Febri juga menyatakan dakwaan menurunkan bobot perbuatan Para Pembacok yang hanya mendakwakan tindak pidana pengeroyokan dan penganiayaan. “Tindakan Para Pembacok sarat dengan perencanaan yang disiapkan secara matang. Misalnya, Korban dicegat sebanyak 2 (dua) kali, lalu dikepung puluhan orang yang membawa sajam, dan akhirnya dibacok hingga tangan almarhum nyaris putus,” tutur Juru Bicara KPK 2016-2020 ini.
Kesembilan, ada upaya untuk mengklaim penanganan pembacokan dan pembunuhan Advokat Jurkani telah benar. Namun, Komnas HAM justru meminta kepolisian untuk bekerja secara profesional, serius, dan akuntabel atas pengungkapan tragedi ini.
Di sisi lain, Majelis Hakim PN Batulicin menganjurkan kepada para saksi untuk melaporkan kejanggalan kepada atasan penyidik bahkan Kapolri. Sebagai informasi tambahan, sebelum anjuran Majelis Hakim, Tim Advokasi JURKANI telah memohon kepada Bareskrim untuk mengambil alih penanganan kasus di atas, namun demikian, permohonan dimaksud tidak ditindaklanjuti lantaran klaim di atas.
Kesepuluh, PN Batulicin menginformasikan perkara belum dilimpahkan ke pengadilan, padahal perkara bahkan sudah disidangkan.
Denny Indrayana, yang juga anggota Tim Advokasi JURKANI menyampaikan bahwa PN Batulicin melalui Surat tanggal 20 Desember 2021, mengatakan perkara belum dilimpahkan oleh ke PN Batulicin.
“Jawaban dalam surat dimaksud tidak sesuai dengan faktanya. Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP PN Batulicin), tertera dengan jelas pelimpahan dari Kejari Batulicin telah diterima pada tanggal 14 Desember 2021 serta teregister pada tanggal 15 Desember 2021. Lebih janggal lagi karena pada 20 Desember 2021—bersamaan dengan tanggal surat di atas, perkara sudah disidangkan dengan agenda pembacaan dakwaan”, terang Guru Besar HTN ini.
Kesebelas, persidangan ditutup-tutupi dan tidak terbuka untuk umum. Denny menerangkan bahwa ketika rekan tim advokasi hendak menyaksikan pemeriksaan saksi dalam ruang persidangan di PN Batulicin, ia justru diminta keluar. Padahal sesuai asas peradilan, persidangan wajib terbuka untuk umum.
“Persidangan tidak boleh gelap, karena potensi kesesatan muncul di ruang-ruang gelap, termasuk sidang yang tidak bisa disaksikan publik,” sambung Wamenkumham 2011-2014 ini.
Deni mengajak seluruh masyarakat yang mendambakan kejujuran, keadilan, dan kepatutan dalam penegakan hukum atas 11 kejanggalan kasus ini, turut padu mengawasi kasus pembacokan dan pembunuhan Advokat Jurkani, hingga kebenaran dan keadilan yang hakiki betul-betul terwujud, tanpa rekayasa.