Otsus: Kontrak Politik Jakarta-Papua

Oleh: Timotius D. Yelimolo*

MENJELANG berakhirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, banyak ide, gagasan dan pandangan yang diutarakan bahkan diwacanakan ditengah masyarakat. 

Ada pernyataan menegaskan bahwa Otsus Papua ini gagal akibat ulah para pejabat Papua sendiri. Apalagi baru-baru ini rakyat dikejutkan dengan ratusan triliun Dana Otsus yang didepositokan untuk kepentingan kelompok tertentu. 

Belum lagi wacana para elit lokal yang selalu saja menjadikan Papua Merdeka sebagai tameng bagi kepentingan pribadi dan kelompok. 

Ada beberapa pandangan juga tentang bagaimana melihat kegagalan dan keberhasilan dari aspek supremasi hukum selama undang-undang ini diberlakukan dengan menampilkan data dan fakta, membuat grafik keberhasilan dan sebagainya. Kemudian mulai mempublikasikannya.

Menjelang berakhirnya Otsus Papua, saya mengajak semua elemen untuk berfikir kembali tentang fakta-fakta berikut ini:

Pertama, Papua dalam sengketa sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1969 barulah Soeharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Daerah Otonom Irian Barat dengan 1 Provinsi yang terdiri dari 6 Kabupaten 1 Kota. Undang-undang 12 ini yang kemudian bertahan sampai pada tahun 1998-2000 saat reformasi, gejolak Papua muncul dan memanas; membuat Jakarta agak kewalahan menangani gejolak Papua.

Kedua, Jakarta belum membuat sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mencabut undang-undang Nomor 12 Tahun 1969, malah menambah undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang akhirnya berkembang hingga pemekaran menjamur di Papua yang membuat para elit lebih melihat uangnya ketimbang amanah yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Ketiga, antara undang-undang 12 tahun 69 dan undang-undang 21/2001, ini adalah sebuah kontrak politik dimana Jakarta ingin meredam gejolak Papua untuk lepas dari NKRI.

Keempat, Sejarah Panjang Papua tidak bisa diukur dari gagal atau berhasilnya Otonomi Khusus Papua karena begitu banyak kegagalan fatal yang membuat Pemerintah Daerah seakan tak berkutik jika hanya memakai kewenangan Otsus, melainkan sejarah panjang tentang Perjalanan Panjang Bangsa Papua yang hingga kini bagai kapal yang kehilangan kendali dan terapung ditengah samudera. 

Wacana berakhirnya Otsus Papua, saya mengajak semua elemen masyarakat Papua untuk kita berfikir dari sisi Historis dan agar bisa mendapat benang merahnya. Jika kita berfikir dari sisi yuridis maka kita akan terjebak untuk kemudian digiring untuk mengakui perpanjangan kontrak Jakarta Papua jilid III lagi (jilid I 1969-2001, jilid II, 2001-2021, Jilid III, 2021-2044)

Selama Periode Pertama dan Kedua, tidak ada sama sekali masyarakat Papua yang berkembang atau mandiri secara ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Keberhasilan pun menunjukkan grafik yang semakin menurun kearah kepunahan rumpun Melanesia, Ras Negroid Melanesiad tanah Papua. 

Jika para elit politik daerah bersepakat Otsus tetap lanjut, maka sudah dipastikan rakyat akan mengalami sebuah genosida besar-besaran dari daerah-daerah terpencil sampai kota-kotake besar.

Jika kita salah pilih, salah ambil langkah, maka celakalah kita semua. Karena akan semakin banyak investasi dan eksplorasi besar-besaran di Papua namun Penduduk pribumi akan diabaikan. Peristiwa yang terjadi di Uganda, Afrika Selatan, bahkan Bogenvil, kiranya menjadi catatan penting bagi Papua untuk tidak serta-merta atau terburu-buru mengambil sebuah keputusan.

*Aktivis Pemuda Papua Barat