Memaksa Lockdown, Kan Bisa Karantina

Oleh : M. Syarbani Haira*

Kabar tentang virus korona begitu bervariasi. Dari Italia diinformasikan jika puncak korona sudah lewat. Tetapi kasus kematian di negeri spaghetti akibat virus masih belum stabil. Sementara perkiraan puncak korona di AS diperkirakan pertengahan April. Namun kasusnya luar biasa, melebihi negara-negara lainnya.

Di Indonesia menurut simulasi ITB, puncak kasus terjadi akhir Maret hingga pertengahan April. Badan Intelijen Negara (BIN) menduga puncaknya Ramadan. Namun, lembaga bergengsi seperti Eijkman meragukan prediksi itu. Wakil Kepala Eijkman, Profesor Herawati Sudoyo, memprediksi puncak penyebaran covid-19 perlu beberapa faktor pendukung, seperti pengalaman migrasi virus serta data persebaran virus di masyarakat.

Menurut Herawati, instansinya membutuhkan algoritma khusus untuk menentukan prediksi dari faktor-faktor pendukung yang didapat. Beberapa institusi luar negeri, kata Herawati, telah menggunakan algoritma khusus itu untuk melakukan prediksi penyebaran virus korona. Ia tak mengetahui seberapa persisi hasil prediksi BIN mengenai puncak penyebaran korona Ramadan mendatang. “Kita memang bisa melakukan prediksi (penyebaran korona), tetapi dari mana perhitungannya, saya tidak tahu,” tegas Herawati pada wartawan.   

Diluar perdebatan kapan sesungguhnya puncak korona, yang pasti wabah ini telah merepotkan hampir semua penduduk bumi ini. Terlebih penduduk dinegara besar dan maju, hampir semuanya kelimpungan. Lihat saja AS, Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis –untuk menyebut beberapa contoh Eropa. Atau Asia dan Timur Tengah, entah itu Saudi Arabia, India, Jepang, Korea, Malaysia, Singapore, atau juga Indonesia, hampir semuanya kelimpungan.

Presiden Trump pun misuh-misuh pada China. Sekali waktu Trump menyebut “Virus China”, disisi lain ia mengagumi negara “Tirai Bambu” itu. Ia bahkan tak sungkan minta bantuan pada negara yang menjadi “musuh” bebuyutannya tersebut. Tak hanya itu, PM Inggris, Boris Johnson, juga mencak-mencak pada China. Ia mencurigai langkah China membantu sejumlah negara lain, setelah negaranya mulai reda dari serangan korona.

Diluar konflik dan kecurigaan tersebut, yang pasti korona tak henti menyebar. Hingga Kamis (2/4/2020 pukul 15.49 WIB), sedikitnya 203 negara diseluruh dunia terjangkit korona. Jumlah pasien karena virus ini tercatat 938.565. Angka ini bertambah 77.000 dari hari sebelumnya, pukul 15.51 WIB, yang terkonfirmasi hanya 861.113 kasus. Dari 938.565 orang yang positif Covid-19, 47.303 diantaranya meninggal. Sisanya195.397 dinyatakan sembuh, seperti dibeberkan banyak lembaga.

Khusus Indonesia, kasusnya terus bertambah. Hingga 2 April, total kasus ada 1.790. Dari angka itu, 170 orang meninggal, dan 112 pasien sembuh. Berdasar catatan, dalam waktu 24 jam terakhir, penambahan kasus tercatat 13 meninggal, dan 9 orang sembuh. Angka ini menunjukkan, bahwa tingkat kematian karena kasus korona sementara hampir 10 %.

Pada level dunia, AS, Italia dan Spanyol menunjukkan kasus terbanyak. AS mencatat 215.000 warganya positive korona, disusul Italia 110.574, Spanyol 104.118, China 81.589, Jerman 77.981, Perancis 56.989, Iran 47.593, Inggris 26.474, Swiss 17.781, Turki 15.679, Belgia 13.964, Belanda 13.614, Austria 10.842, Korea Selatan 9.976, dan Kanada di urutan ke-15 dengan warga terinfeksi 9.731 orang.

Data Worldometer menyebut 50 negara tertinggi kasus korona. Singapura diurutan 50 dengan 1.000 orang terinfeksi. Diatasnya ada Serbia diurutan 49 (1.060), Meksiko ke-42 (1.378), Afrika Selatan ke-41 (1.380), Saudi Arabia ke-38 (1.720), Indonesia ke-37 (1.790), Thailand ke-36 (1.875), India ke-35 (1.998), Pakistan ke-34 (2.291), Filipina ke-33 (2.311), Jepang ke31 (2384), Malaysia ke27 (2.908), Rusia ke-23 (3.548), Norwegia ke-21 (4.898), Swedia ke-20 (4.947), Australia ke-19 (5.137), Israel ke-18 (6.211), Brasil ke-17 (6.931) dan Portugal ke-16 dengan kasus terinfeksi 8.251.

Sementara angka kematiannya relative tak linier. Kasus tertinggi di Italia sebanyak 13.155. Menyusul Spanyol 9.347, AS 5.112, Perancis 4.023, China 3.318, Iran 3.036, Inggris 2.352, Belanda 1.173. Dibawahnya ada Jerman dan Belgia, masing-masing 993 dan 828. Selebihnya angkanya dibawah 500 orang.

Kasus kematian di Indonesia ada 170. Angka ini masih dibawah Portugal 187, Swedia 239, atau Brasil 244. Indonesia dengan Korsel (169) cuma selisih 1 kasus. Tetapi Indonesia jauh diatas Malaysia yang kasusnya cuma 45, Filipina 96, Jepang 57, Saudi Arabia 16, Israel 31 kasus. Fenomena menarik tetangga Israel seperti Mesir, Yordania, Syria, Lebanon belum termasuk 50 besar dari 203 negara yang sudah terinfeksi. Untuk kawasan Syam tersebut, hanya Israel satu-satunya yang terdampak.

Dalam kondisi seperti itu, beragam kebijakan diambil. Negeri seperti China, Italia, Denmark, Irlandia, Spanyol, Perancis lebih awal menerapkan lockdown. Malaysia melakukan hal yang sama. Usulan agar negeri ini menerapkan lockdown  muncul dari berbagai kalangan, dan heboh. Namun negeri mengambil langkah lain, “karantina wilayah”. Mahfud MD jauh hari sudah menyampaikan ide ini. Usulan ini mendapat respon positif, baik kalangan NGO atau akademisi kampus. Selain itu, ketimbang lockdown, darurat sipil bisa lebih efektive.

Dimata Surya Fermana, seorang aktivis di Jakarta, tanpa lockdown badai pasti berlalu. Menurutnya, setelah pemerintah mengumumkan Covid-19 pertama awal Maret lalu, diperkirakan puncaknya terjadi pertengahan April. Sesuai teori, jika 70 hingga 80 % penduduk terpapar korona, maka imunitas bisa tercapai. Bahwa ada penderita yang sembuh dan meninggal, itu soal lain. Kelompok penderita penyakit kronis, atau mereka yang berusia 55 tahun keatas memang resisten. Namun yang muda lebih surviv. Contohnya 300 siswa polisi di Sukabumi positif Copid-19, namun saat ditest diindikasikan sehat.

Dikaitkan dengan angka kematian seluruh dunia, ternyata angka terbesar justru kanker, disusul rokok, alkohol, HIV, kecelakaan lantas, bunuh diri, malaria, dan sebagainya. Korona sendiri tak terlalu berbahaya. Kematian karena Covid-19 hanya sekitar 2 %. Sedang kematian karena virus SARS malah sampai 10 %.

So, lockdown bukan pilihan. Pilihannya social distancing dan psycal distancing. Umat Islam justru lebih terselamatkan. Dalam Islam ada kewajiban 5 kali sehari wudhu, untuk sholat wajib. Dalam hal ini harus cuci tangan, muka, kaki, telinga, kepala dan kumur-kumur. Umat Islam juga dianjurkan hidup bersih, mandi minimal 2 kali sehari. Untuk mandi, ada wajib dan ada sunnah. Mereka yang telah bersetubuh dengan isterinya wajib mandi. Namanya mandi junub. Itu artinya, umat yang taat beragama, Insya Allah terbebas dari korona. Saya kurang faham ajaran agama lain tentang kebersihan ini. Sejak kecil anak-anak sudah ditanamkan soal kebersihan ini. Adagiumnya sangat populer, “an-nadzafatu min al-iman” (kebersihan sebagian dari iman). Artinya, orang yang jorok, kotor, dianggap kurang iman.

Dengan social dan psycal distancing, yang dipertegas via karantina, orang masih bisa interaksi, secara terbatas. Bisa belanja, bisa berusaha. Hanya tertib. Tuh 87 % penduduk negeri ini muslim. Jika jadi muslim yang baik, korona akan lari. Maka itu tak usah kita muring-muring, seolah negeri ini mau kiamat. Negeri ini punya banyak pakar, tidak bodoh. Tak ada niat menyiksa penduduknya. Bahwa kadang kesannya lambat, itulah dinamika demokrasi.

Sekadar lockdown gampang. Tapi resikonya besar. Lihat India ada kerusuhan, atau Bolivia malah ada penjarahan. Ketimbang lockdown, darurat sipil sebuah pilihan. Insya Allah, orang yang taat agama faham dengan yang namanya ujian. Semoga kita semua tergolong orang yang lulus dalam ujian ini. Aamin.   

*Ketua Dewan Syuro Mesjid As-Su’ada, Universitas NU Kalsel, Katib Syuriah PWNU Kalsel 2018 – 2023, tinggal di Banjarmasin