Kematian Yang Direncanakan

Kematian Yang Direncanakan

Oleh: Iyyas Subiakto*

Pagi ini 18 Maret 2020 sudah 1.524.300 orang terjangkit COVID-19, 154.000 meninggal, dan 572.000 sembuh. Amerika menduduki ranking wahid dengan 612 ribu terjangkit, 37 ribu wafat, dan 612 ribu sembuh. Kemudian diikuti 5 negara Eropa dengan kejangkitan rata-rata diatas 90 ribuan, wafat dengan rentang antara 15-23 ribu, hanya Jerman yang bisa menahan lajunya paparan. Jerman terpapar 54 ribu dan wafat 4,6 ribu, sembuh 63 ribu ribu. Sementara Inggris yang paling tragis. Positif 94 ribu, wafat 15 ribu, dan hanya bisa menyembuhkan 371 orang.

Kenapa Inggris lebih merana, kenapa negara industri sepak bola ini sebenarnya di bandingkan tetangganya. Apakah mereka tidak siap, siapa yang siap atas wabah yang mendadak ada, siapa yang siap hidup atau mati, keduanya tidak pernah di jawab manusia, siap hidup dan mati beda bekal, keduanya butuh akal.

Bagaimana Indonesia, dengan 5,2 ribu kasus, 520 wafat dan 607 sembuh adalah sebuah angka jauh di bawah kondisi negara Eropa dan Amerika. Apakah ini prestasi, tentu tidak, namun dengan kekuatan teknologi, kesiapan keuangan, dst, yang jauh di bawah Eropa dan Amerika, kita punya cara untuk berkelit dari wabah itu, kekurangan disana-sini pasti ada, tapi kita sudah bisa menekan boom kepanikan warga yang akan sangat amat mengerikan kalau salah kelola.

Disini di butuhkan ketenangan jiwa pemimpinnya, bukan orang yang asal bersuara tapi tak pernah kerja. Soal angka yang di klaim tidak valid, wajar saja, karena dengan luasan negara yang dihuni 270 juta jiwa, dengan 17 ribu pulau, tidaklah seperti menghitung kuwaci diatas meja. Tapi memang mbacot di medsos lebih nyoss dibandingkan bertugas di lapangan yang ngos-ngosan.

Kita selalu tertarik dengan jumlah kematian yang menakuntukan, padahal semua orang hanya beda waktu untuk merasakannya. Apakah ada solusi untuk lari, atau minta waktu untuk di undur, kalau hal itu bisa, pasti orang Indonesia kampiunnya, kenapa, disini banyak ahli suap dan berpura-pura.

Indonesia sebenarnya sudah banyak mengalami kematian massal. Dari mulai pemberontakan Kahar Muzakar, 2000an nyawa, Karto Suwirjo 20.000an, G30S PKI bisa ratusan ribu atau bahkan jutaan, DOM Aceh, Papua, dst. Terakhir Tsunami Aceh memakan korban 170 jutaan nyawa, dalam kedipan mata.

Ada dua kasus menarik dari tragedi kemanusiaan diatas. Kasus besar pembunuhan dengan alasan negara dalam bahaya komunis. Mayat dengan leher nyaris lepas hampir tiap hari di pinggir jalan, saya yang masih berumur 10 tahun saat itu, setiap hari melihat mobil pengangkut rokok membawa calon bangkai manusia yang pasti di gorok. Besoknya pasti ada khabar mayat tersusun di tengah kebun karet, dan penduduk sekitar yang menguburnya. Ini adalah bencana kemanusiaan yang di rancang dengan kesiapan luar biasa.

Kedua, Tsunami Aceh, 170 ribu nyawa lenyap bersama harta bendanya, bahkan saya pernah bertanya kemana dana tabungan mereka yang ada di Bank Rakyat Indonesia, apakah kembali kepada keluarga atau negara, tak jelas semua siapa yang menelannya, bahkan dana sumbangan kemanusiaan dari seluruh dunia amburadul pembukuannya, Kuncoro Mangunsubrotolah yang hrs menanggung jawabi kemana uang itu lari. Karena dia ketua penataan pembangunan kembali bekas Tsunami.

Tidak ada yang siap mati, kematian menakuntukan, karena kita takut kehilangan sekaligus takut akan siksaan, apalagi akhirat tak pernah kelihatan dan tak ada yang kembali dari lawatan.

Korona menjadi test cases persiapan manusia menghadapi kematian, hanya saja Tuhan memberi waktu untuk persiapan. Yang tidak siap bisa mati duluan, yang siapa bisa bertahan dan selamat sambil menunggu jemputan lanjutan. Tapi di waktu persiapan itu kita ribut saling memyalahkan. Pemerintah adalah sumber salah, beli obat salah, gak beli salah, bagi masker salah, gak ngasi salah, bagi sembako malah disalah gunakan untuk di selewengkan.

Negara sekelas Eropa saja babak belur, apalagi kita yang baru belajar benar dengan pemimpin yang baik. Di tengah susahnya mengatur strategi terhindar dari panik, justru ada pembuat panik, ditengah negara menekan kematian dengan memperbanyak kesembuhan, ada yang buat target kematian, bukanya mempercepat jalannya kesembuhan, eh malah membuat sebanyak-banyaknya sumber penjangkitan.

Virus korona kaget masuk Indonesia, karena diajak kemana-mana, ada yang masuk Balai Kota, ada yang ke Senayan, ke Masjid, malah terakhir diajak ke MK. Semua diajak bersama-sama memusnahkan Indonesia. Di tempat lain Korona menyerang jelas musuhnya, di Indonesia malah diajak bercengkerama oleh para ulama, luar biasa.

Makanya kita santai sajalah, Tuhan telah menyiapkan ruang tunggu, anda mau duluan atau belakangan karena semua bisa direncanakan. Caranya simpel, anda pakai masker dan jaga jarak, atau non masker tanpa jarak. Hanya saja yang anda harus pahami banyak orang di ruang tunggu dengan bermacam rencana yang tidak mau bersama anda, konyol silakan nyantol jangan lakukan, karena orang lain masih punya rencana hidup lama di dunia.

Selamat jalan korona, tak perlu lama-lama di Indonesia, karena kebanyakan kami masih mencintai dunia, nanti saja kami rencanakan atau di jemput paksa. Sampai jumpa.

*Pemehati Sosial Politik