Sampah Menumpuk dan Pungli Merajalela di Pasar Induk Cibitung Bekasi

BEKASI - Konsep zero waste (tanpa sampah) yang diberlakukan Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, di Pasar Induk Cibitung dinilai gagal. Hingga saat ini, puluhan ton sampah terlihat masih menumpuk di sekitaran pasar. Tumpukan sampah itu menimbulkan bau kurang sedap sehingga mengganggu aktivitas pedagang dan pengunjung pasar.

Informasi yang diperoleh menyebutkan, volume sampah tercatat oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pasar Induk Cibitung mencapai lebih 70 ton setiap harinya. Rata-rata sampah yang dihasilkan merupakan jenis sampah basah dari para pedagang.

Berbeda dengan sampah di pasar tradisional lainnya, sampah Pasar Induk Cibitung terlihat sudah menjadi lumpur karena buah-buahan dan sayuran yang membusuk. Sampah membusuk itu menimbulkan aroma tak sedap hingga tercium ke luar area pasar yang berlokasi di Jalan Teuku Umar, Kelurahan Wanasari, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, tersebut. 

Keresahan pedagang semakin menjadi manakala terjadi pungutan liar alias pungli di kawasan pasar.

"Ada empat jenis pungli disini (Pasar Induk Cibitung), yaitu pungli kebersihan, parkir, keamanan dan penjualan kios bodong," ungkap Jojo, salah seorang pedagang kepada wartawan, Selasa (06/04).

Jojo menjelaskan, pungli kebersihan terjadi di luar retribusi pasar yang ditetapkan Perda Kabupaten Bekasi nomor 1 tahun 2017 tentang retribusi daerah. 

"Para pedagang dipungut uang kebersihan sebesar Rp7.000 setiap harinya oleh oknum yang mengatasnamakan rukun warga pedagang Pasar Induk Cibitung," kata Jojo. 

“Bila ditotal, pungli dari kebersihan setiap bulannya mencapai Rp300 juta lebih,” ungkapnya.

Selain kebersihan, parkir kendaraan bermotor dan keamanan terkena sasaran pungli. "Kedua jenis pungli tersebut mencapai Rp20 juta setiap harinya dan itu di luar retribusi yang diberlakukan Pemda," beber Jojo.

Lalu, alih-alih menjadikan Pasar Induk Cibitung lebih baik dari sebelumnya pun menjadi sasaran pungli. "Modusnya dengan alasan revitalisasi Pasar Induk Cibitung yang dikerjasamakan oleh Pemkab Bekasi terhadap PT Citra Prasasti Konsorindo," kata Jojo.

Pascakerjasama tersebut, pedagang ditekan untuk segera membayar uang pembelian kios sebesar yang ditetapkan PT Citra Prasasti Konsorindo.

"Jika tidak segera membayar, pedagang diancam tidak memiliki kios," jelas Jojo.

Keluhan terkait tingginya harga kios pernah disampaikan pedagang ke DPRD Kabupaten Bekasi, Jumat (12/03) silam.

“Kami keberatan dengan uang muka kios baru yang harganya mencekik,” kata Ketua Forum Komunikasi Pedagang Pasar Induk Cibitung, Juhaeri, kala itu.

Terlebih kios yang ditawarkan belum memiliki IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan belum mendapat persetujuan dari Dinas Lingkungan Hidup.

Di hadapan anggota DPRD yang menerimanya, tokoh pedagang Pasar Induk Cibitung Nyumarno dan Sunandar, mengeluhkan biaya uang muka sebesar 10% atau Rp12,6 juta untuk mendapatkan nomor kios/los ukuran 2×3 meter persegi yang dibanderol dengan harga Rp126 juta.

Selanjutnya, pedagang diwajibkan membayar 30% selama berada di penampungan. Dan, sisa pembayaran 60% dapat dilunasi atau dicicil setelah kios/los yang baru telah ditempati.

“Skema pembayaran yang sama juga diterapkan untuk kios ukuran 3×4 meter persegi yakni seharga Rp 270 juta,” bebernya seraya berharap agar pungli di Pasar Induk Cibitung segera ditertibkan.

Terpisah, anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Bekasi, Budiyanto mengatakan bahwa dana APBD Kabupaten Bekasi cukup untuk merevitalisasi Pasar Induk Cibitung. 

"APBD kita cukup, kalau hanya Rp190 miliar tidak masalah, karena ada senilai hampir Rp1 triliun dana APBD Kabupaten Bekasi yang belum terserap tahun 2020 dan bisa dimanfaatkan untuk merevitalisasi Pasar Induk Cibitung," terang Budiyanto.

Dia mengingatkan Bupati Bekasi dan Dinas yang terkait bahwa pedagang maunya revitalisasi ini menggunakan dana APBD dan tidak diswastakan. 

"Sehingga tidak dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab," tegasnya.