Jokowi Bukan Politisi Idiologis

Jokowi Bukan Politisi Idiologis
Ilustrasi Pemikiran Ideologi (Foto:Istimewa)

Kalkulasi Skema Program Pemerintahan Jokowi

Oleh : Erijely *)

 

Fahri Hamzah dalam tayangan YouTube mengatakan bahwa Jokowi engga bisa kerja dengan agenda. Menurut saya Fahri Hamzah benar dan jujur.  Mengapa ? Karena memang Jokowi bukan poltisi dengan agenda idiologis.  Misal di DKI Jakarta,  dia hanya mengeksekusi kebijakan yang sudah dibuat oleh gubernur sebelumnya.

MRT itu Sebelumnya selalu gagal dibangun karana alasan engga ada uang. Ya Jokowi fokus kepada solusi anggaran proyek.  Dengan kalkulasi sederhana dia bisa yakinkan menteri keuangan agar mendukung hybrid financing, yaitu APBN alokasi PSO dan APBD multiyear alokasi biaya fiskalnya.

Akhirnya Skema softloan dari Jepang untuk MRT, menjadi layak. Karena program burden sharing antara kementrian dan Pemprov DKI. Cara ini tadinya tidak pernah terpikirkan oleh semua gubernur sebelumnya.

Tapi Jokowi bisa melihat itu sebagai peluang dan sukses. Mengapa ? Karena dia focus kepada masalah. Coba, kalau Jokowi berpikir proyek dan agenda.  Pasti dia akan tolak program gubernur sebelumnya. Seperti Anies menolak program normalisasi sungai.

Dia akan sibuk dengan program baru. Akibatnya waktu habis diskusi dan buat studi mikirkan program. Nanti ujungnya mentok kepada anggaran juga. Ya buang waktu.

Jokowi engga mau mikir yang engga perlu,  Kalau sudah ada program bagus. Sudah ada studi dan peraturan, seperti program MP3EI yang dirancang SBY. Masalahnya apa sampai engga juga jalan ? Oh uang? Oh rumit? Ya sudah. Dia eksekusi.

Kalau ada masalah di jalan ya diselesaikan dan perbaiki. Kalau terus nunggu karena khawatir ya, kapan jalannya ? Selagi proyek selesai dibangun, apapun ongkos itu lebih baik daripada mangkrak seperti Ambalang dan beberapa proyek PLN era SBY.

Sehebat apapun keputusan, kalau lambat dieksekusi, pasti salah.Mengapa ? Tidak ada manusia yang bisa membeli waktu. Dan tidak ada yang bisa menarik waktu mundur ke belakang. Artinya lambat itu memang salah dan merugikan.

Kalau karena itu hutang bertumpuk, Ya wajar. Mengapa ? Karena jelas berbeda dengan era presiden sebelumnya. Hutang digunakan untuk nomboki resiko BLBI agar obligors semakin kaya raya. Memberikan subsidi BBM setiap tahun Rp 400 triliun. Hasilnya hanya polisi udara.

Jokowi menggunakan APBN atas proyek yang sudah jadi. Itupun dalam skema refinancing lewat penambahan modal negara pada BUMN. Hutang memang bertambah. Tapi pemupukan modal bruto negara juga meningkat dalam bentuk kepemilikan saham BUMN yang mengelola infrastruktur. Jadi debit kreditnya bunyi.

Hanya saja, memang dalam mengejar prioritas kadang masalah lain tidak terpantau dengan baik oleh Jokowi. Apalagi oleh ring 1-nya terlebih menterinya tidak 100% bantu dia. Mereka cenderung punya agenda tersendiri.

Ya itu resiko poltik bagi setiap pemimpin dalam sistem trias politika. Termasuk Jokowi. Biasa saja menanggapinya. Yang engga biasa, kalau semua dipikirkan dan dikerjakan tapi hasilnya engga ada. Sementara anggaran habis.  Itu, Bahlul.

 

*) Blogger dan Praktisi Bisnis.

Tulisan disaripatikan dari laman page miliknya