Eddy Rifai dan Nunung Rodliyah Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Unila

BANDARLAMPUNG - Dua
dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Eddy Rifai,
S.H., M.H., dan Prof. Dr. Nunung
Rodliyah, M.A., dikukuhkan sebagai guru besar dalam Rapat Luar Biasa Senat Unila.
Prof. Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dikukuhkan sebagai Guru
Besar Bidang Ilmu Hukum. Sementara Prof. Dr. Nunung Rodliyah, M.A., dengan
gelar Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Islam.
Pengukuhan dipimpin langsung Rektor Prof Dr Lusmeilia
Afriani di Gedung Serbaguna Unila, Selasa (13/6/2023), dihadiri Wali Kota
Bandarlampung Eva Dwiana, jajaran pimpinan Unila, rektor senior, ketua Ikatan
Alumni FH Unila, serta tamu undangan dari berbagai instansi dan lembaga.
Eddy Rifai dalam orasi ilmiahnya berjudul Membangun Rezim
Anticyber Laundering di Indonesia: Inovasi Hukum di Era Digital menjelaskan,
era digital saat ini menimbulkan tantangan baru dalam pemberantasan tindak
pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan melalui media siber atau cyber
laundering.
Perilaku pencucian uang semakin rumit dan sulit dilacak
karena pelaku memanfaatkan dunia maya untuk melakukan transaksi keuangan tanpa
harus datang ke bank, cukup memanfaatkan fasilitas m-banking dan sarana siber
lainnya.
Kemudahan yang disediakan instrumen keuangan digital
tersebut berimplikasi terhadap modus operandi tindak pidana pencucian uang
(TPPU) melalui media siber yang dikenal dengan istilah cyber laundering, yakni
suatu cara untuk mencuci uang yang didapat dari hasil kejahatan dengan
mempergunakan teknologi tinggi baik itu internet atau sistem pembayaran secara
elektronik.
Regulasi antipencucian uang di Indonesia sebetulnya lahir
jauh sebelum era digitalisasi (UU No. 8/2010). Namun fenomena ini ada sejak
tahun 2015 dan telah terdeteksi upaya menyembunyikan uang hasil tindak pidana
melalui transaksi bitcoin di Indonesia.
Salah satu contoh kasusnya adalah kasus korupsi PT. Asabri
dengan tiga tersangka yang diduga menyembunyikan hasil korupsinya dalam bentuk
bitcoin.
Isu tentang cyber laundering sangat menarik dan penting
untuk menjawab tantangan penegakan hukum di era digital saat ini dalam tatanan
norma hukum Indonesia.
Risiko cyber laundering dalam era revolusi digital sangat
tinggi, sehingga kebijakan antipencucian uang harus berinovasi. Terlebih lagi
cyber laundering belum diatur secara khusus dalam regulasi hukum pidana di
Indonesia.
Adapun konstruksi rezim anticyber laundering di Indonesia
yang dapat dilakukan di antaranya, PPATK perlu diberi kewenangan lebih yaitu
kewenangan sebagai penyidik TPPU, mengharmonisasikan mekanisme pelaporan dan
pengawasan, memperkuat kerja sama internasional, membangun digital
identification system yang mutakhir, pemberdayaan teknologi pada setiap
instansi yang berkaitan dengan pencucian uang, serta aturan khusus tentang
cyber laundering.
Selanjutnya Nunung Rodliyah dengan orasi ilmiahnya berjudul
Peran Hakim Peradilan dalam Mewujudkan Keadilan Substantif: Perspektif Islam
menguraikan, Islam memberikan konsekuensi besar bagi seorang hakim.
Menurut Islam, seorang hakim yang adil dan jujur akan
mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan seorang hakim yang
zalim dan curang akan mendapatkan neraka yang penuh dengan siksaan. Siksaan itu
tidak akan berkurang sedikit pun selama-lamanya.
Maka bagi kaum muslim, menjadi hakim merupakan amanat yang
harus diemban dengan hati-hati karena keputusannya akan mempengaruhi kehidupan
akhirat mereka. Keputusan tersebut haruslah sangat berhati-hati dan sesuai
dengan ajaran Islam.
Di Indonesia, negara hukum yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, peran hakim peradilan sangat penting. Hakim peradilan memiliki
otoritas dan konsekuensi yang besar sebagai agen hukum dalam masyarakat.
Peran hakim peradilan tidak hanya melihat dari sisi hukum
formal melainkan harus melihat keadilan substantif berdasarkan hati nurani
hukum Allah subhanahu wa taala. Didukung semangat cita-cita Pancasila, hakim
dalam memutus perkara harus menyelaraskan nilai masyarakat yang bertuhan, adil,
dan berperikemanusiaan.
Putusan hakim di pengadilan idealnya harus mencerminkan
kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, di mana ketiganya harus
dilaksanakan secara kompromi yaitu menerapkan secara berimbang dan
proporsional.
Dengan kata lain, pemaknaan keadilan substantif berarti
hakim bisa mengabaikan bunyi undang-undang jika undang-undang tidak memberikan
rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural undang-undang
yang memberikan kepastian hukum.
Melihat dari perspektif hukum Islam, hukuman bagi hakim yang
lalai menjalankan tugasnya telah tertuang dalam HR. Ibnu Majah, nomor 2315,
Tirmizi, nomor 1322, Abu Dawud, nomor 3573.
Kondisi ini menjadi kritik keras guna percepatan peningkatan
moral, integritas, peradaban, sebagai ujung tombak terwujudnya keadilan suatu
perkara, yang berdampak pada implementasi cita bangsa, pemulihan marwah aparat
penegak hukum, serta tanggung jawab pribadi hakim pada nilai fundamental agama
yang diemban.
Untuk melihat sebuah keadilan perlu juga menggunakan metode-metode
ijtihad dalam pengembangan hukum Islam dan pentingnya atau relevansi ijtihad
untuk menjawab tantangan zaman.
Hukum ijtihad yang dilakukan hakim dalam peradilan tidak
boleh bertentangan dengan Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam, tetapi harus berpegang pada Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu
alaihi wassalam sehingga mampu menghasilkan putusan yang merepresentasikan hat
nurani hukum Allah subhanahu wa taala, berperikemanusiaan, dan berkeadilan.
Pada kesempatan tersebut Ketua IKA FH Unila Dr Asri Agung
Putra turut memberi sambutan dan ucapan selamatnya kepada dua guru besar FH
Unila tersebut.
“Saya ingin mengucapkan selamat kepada Prof, Eddy dan Prof.
Nunung. Mudah-mudahan pengukuhan hari ini akan semakin memberikan dampak
positif bagi fakultas hukum, Universitas Lampung, Provinsi Lampung, bahkan
tingkat nasional,†ujarnya.