Buntut Penyerangan Oknum Anggota TNI, Beberapa Lembaga Desak Presiden Panggil KASAD dan Panglima TNI

JAKARTA - Tindakan
aksi penyerangan dan kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI kembali lagi
terjadi di Jeneponto, Sulawesi Selatan pada Rabu (26/4/2023) dini hari.
Tindakan ini terjadi secara berturut-turut setelah sebelumnya terjadi di
Kupang, NTT seminggu sebelumnya pada Rabu (19/4/2023).
Selain itu, terdapat video yang beredar di media sosial yang
dilakukan oknum TNI yakni seorang perwira tinggi yang menyampaikan pernyataan
tidak sepantasnya yakni memerintahkan melakukan sweeping pasca-kejadian Kupang.
Menyikapi situasi itu, beberapa lembaga seperti Centra
Initiative, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional, Imparsial, ELSAM mendesak Presiden segera memanggil KASAD
dan Panglima TNI untuk memastikan tidak ada lagi tindakan penyerangan dan kekerasan
yang dilakukan oknum anggota TNI terhadap fasilitas apapun.
“Kami menilai tindakan serangan dan kekeraaan terhadap
tempat tertentu yang mengakibatkan situasi dan kondisi tidak aman seperti yang
terjadi di Kupang dan Jeneponto adalah hal yg memprihatinkan. Rasa aman
masyarakat terganggu dan terancam oleh kondisi yang terjadi. Oleh karena itu,
serangan dan kekerasan itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun,†ujar Direktur
Eksekutif Centra Initiative, Muhamad Hafidz, melalui keterangan tertulis, Kamis
(27/4/2023).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber
media, serangan dan kekerasan itu ditujukkan pada fasilitas milik kepolisian yang diduga kuat dilakukan oleh oknum
anggota TNI.
“Serangan oleh oknum anggota TNI terhadap fasilitas
kepolisian bukanlah kasus yang pertama terjadi. Beberapa kasus konflik TNI dan
Polri telah terjadi beberapa kali di masa Reformasi ini,†kata dia.
Menurutnya, penyerangan disertai pengrusakan dan kekerasan
yang terjadi di Kupang dan Jeneponti
oleh siapapun tidak bisa dibenarkan secara hukum. Tindakan kekerasan itu
adalah bentuk pelanggaran hukum yang
melawan prinsip-prinsip negara hukum.
“Kami menilai semua pihak yang melakukan serangan dan
kekerasan harus dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa
memandang siapa mereka dan dari institusi mana mereka. Penghukuman secara benar
terhadap mereka menjadi penting untuk memastikan bahwa keadilan di negeri ini
masih ada. Tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum (impunitas).
Sebaliknya, karena mereka adalah bagian dari aparat negara maka seharusnya
hukuman yang ditimpakan justru harus lebih berat. Penghukuman terhadapa mereka
seharusnya melalui mekanisme peradilan umum,†imbuhnya.
Dia menegaskan, jika memang benar mereka yang melakukan
kekerasan adalah oknum anggota TNI maka sebaiknya mereka diproses hukum yang
adil dan benar. Proses hukum terhadap kasus serangan oknum TNI selama ini masih
berlindung dalam mekanisme peradilan militer yang cenderung tidak maksimal dalam
memberikan penghukumannya, akibatnya putusan kasus-kasus sebelumnya tidak
menimbulkan efek jera. Dalam konteks itu, menjadi penting agar pemimpin sipil
untuk melakukan reformasi peradilan militer guna menegaskan bahwa semua orang
adalah sama di hadapan hukum yaitu dengan memastikan siapapun orang ketika
terlibat pelanggaran hukum maka wajib diproses hukum dalam peradilan yang sama
seperti warga negara lain melalui peradilan umum.
“Kami memandang, terjadinya kasus di Kupang dan Jeneponto
menunjukkan masih adanya kultur
militeristik yang belum hilang. Budaya penghormatan atas negara hukum
belum sepenuhnya dijalankan dan dipatuhi. Oleh karena itu, perlu adanya
perbaikan kualitas sistem pendidikan
yang mengajarkan kepatuhan dan penghormatan terhadap sistem hukum dan
negara hukum itu sendiri,†kata dia.
Pemahaman esprit de corps yang keliru seringkali juga
menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus penyerangan dan kekerasan. Semangat itu
semestinya hadir dalam medan peperangan ketika menghadapi musuh dari luar
negeri yang berbentuk ancaman militer dan bukan justru untuk melakukan serangan dan kekerasan
terhadap alat/ lembaga negara.
“Oleh karena itu, pimpinan TNI maupun Polri perlu membangun
pemahaman jiwa korsa yang tepat kepada anggota mereka dan memberikan pemahaman
lebih serius tentang pentingnya penghormatan atas hukum di dalam negara hukum.
Semua bentuk ketidakpuasan atas proses hukum dapat disampaikan pada
komisi-komisi independen seperti Kompolnas dan Komnas HAM,†tegas dia.
“Kami juga menilai, berangkat dari terus berulangnya peristiwa
serupa, maka diperlukan adanya pengawasan yang kuat dalam mengontrol pergerakan
anggota di dalam tubuh TNI maupun Polri. Selain itu, DPR juga perlu melakukan
pengawasan yang serius sehingga segala kesalahan dan pelanggaran hukum yang
dilakukan benar benar dapat dihukum secara adil. DPR perlu melakukan pengawasan
secara serius untuk mengatasi soal ini,†kata dia.
Selain itu, pihaknya mendesak semua pihak, khususnya aparat
keamanan untuk memastikan rasa aman masyarakat dan menjaga situasi yang
kondusif di semua tempat.
“Semua pelaku yang terlibat dalam tindakan penyerangan dan
kekerasan diproses hukum dalam peradilan yang independen dan adil. Presiden dan
DPR segera melanjutkan dan merealisasikan agenda reformasi peradilan militer
melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997,†kata dia.
Dia juga meminta DPR melakukan fungsi pengawasan yang
efektif untuk memastikan proses hukum berjalan dengan benar dan adil, serta
fungsi kontrol sipil yang demokratis.