Garuda Indonesia Diujung Tanduk

Oleh: Erizeli Jely Bandaro
Akibat pandemi COVID-19, total penjualan tiket Garuda melalui salah satu platform online mengalami penurunan drastis hingga 20% secara year on year pada Februari 2020. Kemungkinan laba bersih Garuda Indonesia tahun 2020 akan cenderung mengalami penurunan sebesar 16% – 28%. Itu disebabkan kemungkinan pendapatan tahun 2020 akan turun 11%.
Yang jadi masalah adalah utang jatuh tempo pada Juni 2020 mendatang mencapai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,75 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/US$). Udah pendapatan turun, laba drop, dan cadangan laba udah engga ada. Memang Garuda berada di ujung tanduk.
Garuda berharap dengan adanya COVID-29 ini bisa mendapatkan relaksasi dari perbankan, setidaknya bisa melakukan refinancing atas Bond yang jatuh tempo. Karena kalau sampai gagal bayar, akan merusak reputasi negara di pasar uang. Apalagi Garuda adalah BUMN. Namun tidak akan mungkin Bank mau memberikan pinjaman walau bank pelat merah sekalipun. Karena mana ada bank mau memberikan kredit perusahaan yang sudah insolvent . Kalau berharap ada penjadwalan utang, itu sama saja default. Pasti bondholder protes. Saham Garuda bisa terjun bebas. Aset negara akan susut nilainya di Garuda.
Sebetulnya tanpa ada COVID-19 Garuda tetap akan suffering. Karena secara akuntasi sudah engga sehat. Saya sudah menulis beberapa bulan lalu tentang perlunya Garuda melakukan restruktur bisnis. Alasan saya, dengan mempertahankan strutktur bisnis yang ada sekarang, itu sama saja menunda kebangkrutan dan semakin lama ongkosnya semakin besar yang harus ditanggung negara. Engga ada satupun bank dan investor mau terus membiayai keyakinan direksi yang jelas jelas gagal. Sekarang terbukti semua.
Garuda harus melakukan restruktur bisnis dengan menciptakan business model baru. Potensi itu ada. Garuda adalah BUMN yang menguasai monopoli logistik di semua bandara. Kalau E-commerce logistik diterapkan dengan dukungan infrastruktur logistik , Garuda bisa menjadi ecommerce logistik dengan ekosistem bisnis terbesar di ASIA Tenggara. Kalau business model ini dipertajam dengan legitimasi negara, maka ini akan jadi start up bisnis yang sangat mudah mendapatkan USD 1 miliar dalam waktu cepat. Dalam waktu paling lama 3 tahun Marcap bisa mencapai USD 10 miliar. Mengapa ? ekosistem dari ecommerce logistik itu bisa mencapai 100 juta orang. Itu data eksisting. Masalah financial garuda bisa teratasi.
Kemudian Garuda juga harus melakukan efisiensi operasional pada unit bisnis penerbangan premium. Caranya?, ubah semua skema pengadaan pesawat menjadi Limited Parnership fund (LPF). Apa itu? Garuda hanya berperan sebagai management Airline. Bahasa awamnya Garuda tawarkan trayek kepada investor dengan pola bagi hasil setelah dipotong biaya operasional dan crew. Dengan demikian misi sebagai national flag carrier tetap terlaksana dan Karyawan tetap kerja. Apa ada investor mau? Beberapa penerbangan dunia sudah terapkan skema ini dan sukses. Mengapa? Karena skema LPF itu tidak berdampak kepada neraca.Itu bukan utang tetapi bagi hasil. Namun mengharuskan transparansi.
Kalau Garuda tidak melakukan restruktur bisnis, saya yakin tahun depan 25000 karyawan Garuda bisa di PHK. Pemerintah engga mungkin bailout. Karena Garuda udah IPO. Kalau sampai Garuda bankrut, triliunan uang negara hilang, dan sebagai pemegang saham harus bertanggung jawab sesuai porsi saham atas default surat utang. Jadi cepatlah berubah. ! kasihan pak Jokowi kalau eranya justru Garuda bangkrut, Itu sama dengan record SBY yang membangkrutkan Merpati.