Sosok Kiai Dahlan Dalam Ragam Aspek

Oleh: Tgk Adnan Yahya*)
Para ahli sejarah di Indonesia dan dunia memberikan perhatian khusus dalam mengkaji sosok, kiai Dahlan, dari ragam aspek, baik aspek kepribadian, pemikiran, maupun pengabdian (amalan) dalam kehidupan sosial.
Kiai Dahlan, bukan sekadar sosok yang ‘alim, dzaka’, tawadhu’, moderat (wasathiyyah), elastis (murunah), teguh dalam pendirian (istiqamah), dan menyenangkan bagi santrinya. Akan tetapi, ia mampu mengejewantahkan pengetahuan, pemikiran, dan keilmuannya secara teoritis pada tataran praktis. Ia sosok yang mampu mengkorelasikan dan membumikan ayat suci dengan kenyataan sosial. Jika meminjam istilah, Amien Rais, ‘tauhid sosial’ kiai Dahlan itu kuat dan mengakar. Baginya, ayat suci bukan sekadar bacaan dan kajian semata (dogma, doktrin), tapi harus mampu dibumikan dalam kehidupan sosial.
Kisah populer, kiai Dahlan, dengan santrinya dalam mengkaji surah Al-Ma’un selalu relevan untuk diceritakan sebagai bukti nyata kemampuannya untuk membumikan ayat suci dalam kehidupan sosial. Pola pengajiannya yang terus mengulang ayat yang sama membuat para santri bosan, padahal mereka sudah mampu membaca, menghafal, dan bahkan memahami maknanya. Akan tetapi, karena masih dalam tataran teoritis, belum aplikatif, membuat surah tersebut terus diulang-ulang olehnya. Hingga dirinya dan para santri bergegas untuk mewujudkannya dengan cara menyantuni anak yatim, fakir miskin, dan kaum marginal disekitaran Malioboro, Jogja, saat itu. Rupanya, pola pengajian seperti itu menginspirasi lahirnya ragam amal usaha dan amal sosial di lingkungan persyarikatan.
Bukti nyata
Berikut beberapa bukti nyata amal, kiai Dahlan, yang terekam dalam sejarah. Hingga kini amal ini terus maju dan berkembang yang diteruskan oleh para pengikutnya, dan menjadi ispirasi bagi bangsa dan dunia. Diantaranya:
Pertama, meluruskan arah kiblat Masjid Gede Kauman Yogyakarta pada tahun 1897 M. Mesti dipahami bahwa, sebelumnya belum pernah terjadi pengukuran arah kiblat masjid yang mengintegrasikan ilmu agama dengan astronomi (falak). Gebrakan, kiai Dahlan, ini menjadi sorotan di kalangan tokoh agama saat itu di Pulau Jawa, hingga munculnya perilaku persekusi dan diskriminasi kepadanya, semisal dituduh sebagai ‘kiai kafir’, suraunya dibakar, hingga dikucilkan dalam kehidupan sosial.
Kedua, mendirikan surau pada tahun 1899 M sesuai arah kiblat yang benar berdasarkan integrasi ilmu agama dan ilmu astronomi (modern) saat itu. Jika meminjam istilah, Amin Abdullah, disebut dengan integrasi – interkoneksi. Langkah pendirian surau ini diambil karena penolakan para tokoh agama terhadap penentuan arah kiblat yang benar berdasarkan ilmu astronomi. Tak lama berselang, surau ini akhirnya dibakar oleh orang-orang yang berseberangan dengannya. Tapi, kini program pengukuran arah kiblat sudah menjadi program di Kementerian Agama. Artinya, saat kiai Dahlan mempelopori pertama kali pengukuran arah kiblat ditolak oleh umat, tapi kini sudah menjadi kebutuhan umat dalam beribadah.
Ketiga, pelaksanaan shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di lapangan terbuka. Meski gebrakan ini telah lama menjadi keinginan, kiai Dahlan. Akan tetapi baru terlaksana pada tahun 1926 di Alun-Alun Utara Keraton Jogja.
Keempat, menjauhkan Tahayul, Bid’ah, dan Churafat, sebagai upaya kembali kepada sumber asli agama yakni Al-Quran dan Sunnah (ar-ruju’ ila Quran wa sunnah maqbulah).
Kelima, pembinaan umat melalui pengajian; semisal pengajian malam jumat sejak tahun 1917, pengajian ibu-ibu wal ashry, pengajian sopo tresno yang pada akhirnya berakultrasi menjadi Aisyiyah, dan tabligh ke luar daerah;
Keenam, mendirikan sekolah Islam modern pada tahun 1911, yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Kurikulum yang digunakan integrasi ilmu agama dan umum, ukuran ruang belajarnya 2,5 X 6 m yang dilengkapi meja dan kursi, papan tulis. Madrasah ini terus berbenah hingga pada tahun 1922 berdiri kweekscholl, sebagai cikal bakal pendirian Madrasah Mualimin. Pada tahun 1922 telah berdiri 9 sekolah, 73 guru, 1.019 siswa. Mesti diketahui bahwa, model sekolah agama yang didirikan oleh kiai Dahlan saat itu ‘melawan arus’ dengan madrasah yang telah ada sebelumnya, baik dari sisi fasilitas maupun mata pelajaran.
Kiai Dahlan, mengadopsi fasilitas sekolah Belanda dalam mengembangkan sekolahnya, yaitu adanya meja, kursi dan papan tulis, sesuatu yang tabu pada madrasah Islam saat itu. Karena inilah diantara masyarakat menuduh, kiai Dahlan, sebagai ‘kiai kafir’, karena telah mengadopsi pola pendidikan Belanda.
Ketujuh, mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Umum) pada tanggal 13 Januari 1923, yakni sebulan sebelum wafat kiai Dahlan. PKO digagas oleh santrinya, yakni KH Soedja’, yang terinspirasi dari kiai Dahlan itu sendiri.
Kedelapan, mendirikan Panti Asuhan dan rumah penampungan fakir miskin pada tahun 1920, sebagai wujud membumikan surah Al-Ma’un secara institusional, dan beragam gagasan pelayanan sosialnya yang terinspirasi dari surah Al-Ma’un dan surah-surah yang berisi ‘teologi pembebasan’.
Kesembilan, mendirikan SM pada tahun 1915, taman pustaka pada tahun 1921, sebagai wujud membumikan literasi yang diamanahkan dalam wahyu pertama (Qs. Al-‘Alaq: 1-5), berfungsi untuk membasmi buta huruf di kalangan umat Islam dan mencerdaskan kehidupan umat saat itu.
Kesepuluh, mendirikan beragam amal usaha dan organisasi otonom perempuan yakni, pada tahun 1921 didirikan Bagian penolong haji; pada thaun 1917 didirikan Aisyiyah, yang diketuai Nyai Walidah, dan pada tahun 1918 didirikan Hizbul Wathan (HW), sebagai wujud cinta tanah air, dan wadah menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan umat Islam. Dari sini dapat dipahami bahwa, kiai Dahlan, bukan sekadar retorika dan gaya, tapi aksi nyata.
Inilah penyebabnya para ahli sejarah menyebut, kiai Dahlan, sebagai ‘man of action’ yakni manusia amal. Ragam amalnya diberbagai bidang terus berkembang hingga kini dan telah berkontribusi besar terhadap perbaikan dan pemajuan bangsa. Pemerintah Indonesia memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap ragam amal yang dipelopori oleh, kiai Dahlan, dengan menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Semoga kita terinspirasi untuk terus beramal. Semoga!
*) Dosen Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe