Peubulat Bulat Bola Sente

Oleh: Arie Maulana*
Belakangan ini saya sangat tertarik mengamati setiap data yang disajikan secara visual dalam bentuk grafis. Apapun media yang menyajikan data dalam format info grafis akan menyita perhatian saya. Mungkin ini dampak dari pemberitaan dan penyebaran informasi terkait bawah Korona. Hampir semua berita atau informasi menyajikan perkembangan tren, perkiraan ataupun simulasi terkait wabah ini. Semua itu menjadi edukatif dan sangat atraktif.
Membaca data dan informasi yang disajikan dalam bentuk grafis lebih memudahkan saya untuk memahaminya. Sebuah garis kurva yang naik turun dalam sebuah chart akan menjelaskan dengan cepat kepada saya ketimbang sajian deretan angka - angka dalam table numerik. Secara historis, saya memang punya banyak masalah dengan mata pelajaran eksakta.
Mengamati suatu bentuk info grafis dapat menjelaskan banyak hal. Bahkan pada suatu grafis yang yang hanya menampilkan satu variable data saja. Sebagai contoh ketika saya mengamati data tingkat kemiskinan Aceh. Dalam rentang waktu 5 tahun (2008 - 2013) garis tren menunjukkan memang terjadi penurunan tingkat kemiskinan. Tapi sekaligus juga menunjukkan seberapa turunnya tingkat kemiskinan itu sendiri dalam kurun waktu 5 tahun itu. Dan tentu saja tergambarkan gerakan penurunan dalam setiap periode tahunnya. Jadi ada 3 hal yang bisa saya pahami sekaligus dalam waktu singkat dalam suatu info grafis. Bayangkan jika saya harus membacanya dalam bentuk table numerik yang berisi deretan angka - angka.
Awal 2020, di jagad medsos, ramai orang membicarakan masalah tingkat kemiskinan di Aceh. Data menunjukkan bahwa memang terjadi penurunan tingkat kemiskinan pada tahun 2019. Tapi lajunya tidak cukup cepat. Seorang teman yang jago ekonomi melihat dari sisi lain. Yaitu dari sisi peran Pemerintah. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah turunnya angka kemiskinan tersebut terjadi akibat peran Pemerintah Aceh, atau justru terjadi dengan sendirinya ? Ini bisa dilihat dengan membandingkannya terhadap besaran Belanja Publik pada struktur APBA dalam kurun waktu tersebut. Tapi apapun, itu saya justru senang, bahwa perdebatan mulai menjurus ke hal - hal yang bersifat mendasar dan berbasis pada data. Dan Pemerintah Aceh juga telah melakukan praktek yang lebih baik dalam hal menjelaskan informasi dan data kepada publik.
Jika melihat tren capaian pembangunan Aceh, khususnya sejak mendapatkan Dana Otsus pada 2008, capaian pembangunan kita sepertinya memang tidak pernah optimal? Misalnya jika kita membandingkannya dengan Papua. Sebuah kajian efektifitas implementasi Dana Otsus yang dipublikasikan oleh Kementrian Keuangan melaporkan bahwa rerata pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) periode 2011-2017 di Aceh hanya sebesar 0.73 % di banding dengan Papua yang mencapai 1.18 % dan Papua Barat 0.79 %.
Sementara penurunan penduduk miskin pada periode 2011-2017 di Aceh hanya sebesar 0.72 %. Dan ini masih dibawah rerata Papua 1,29 %, dan Papua Barat yang sebesar 1.68 %. Begitupun dengan rerata pertumbuhan PDRB per kapita periode ini. PDRB Aceh hanya tumbuh sebesar 3.34 %, sementara Papua telah mencapai 6.25 %, dan Papua Barat 5.48 %. Dan semakin jauh tertinggal jika dibanding dengan rerata pertumbuhan PDRB per kapita nasional yang sebesar 8.80 %.
Meskipun kajian itu sebenarnya melaporkan capaian - capaian atas indikator kesejahteraan dan perekonomian Aceh. Namun point penting pada kajian tersebut adalah, capaian - capaian pembangungan Aceh masih berada dibawah rata - rata pertumbuhan Nasional. Bahkan masih dibawah capaian Papua dan Papua Barat.
Mengapa bisa terjadi? Padahal kita sudah mendapatkan insentif dana yang cukup besar. Ditambah hak istimewa dalam bidang ekonomi sosial sejak perundingan Damai 2006 lalu. Jangan - jangan selama ini Pemeritah Aceh telah larut dengan rutinitas birokrasi dan pemerintahan. Tanpa pernah menyadari hasil dari kerjanya ?
Kembali lagi pada soal info grafis. Sejatinya media komunikasi ini, merupakan juga proses analisa untuk pengambilan keputusan bagi para pemimpin daerah dalam merumuskan program hingga tahap pelaksanaan. Saya 100 % yakin, bahwa para pemimpin kita benar - benar mengamati dan menjadikan data dan informasi yang ada sebagai basis perumusan program dan kebijakan pemerintahan. Kenapa ? Faktanya ketika proses pilkada, hampir semua mereka menggunakan jasa konsultan politik untuk membaca, mengolah dan menyajikan data dalam bentuk grafis untuk kepentingan kampanyenya.
Saya justru khawatir bahwa, masalahnya justru ada pada level pimpinan pelaksana. Level Kepala Dinas yang bertanggungjawab merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi program. Sering saya melihat, sahabat dan kerabat yang kebetulan PNS, bekerja hingga larut malam menjelang pagi dikantornya masing - masing. Mempersiapkan data dan informasi untuk menyusun program kerja. Kelihangan banyak waktu untuk keluarga maupun aktivitas sosial lainnya untuk sebuah hasil yang tidak pernah optimal. Namun, perencanaan tidak pernah sebanding dengan hasil yang diharapkan.
Berkas bertumpuk. Personel banyak. Kemampuan mumpuni. Tetap saja mereka kalah dengan waktu dan capaian kinerja yang dihasilkan. Data dan informasi selalu tersedia. Tapi sepertinya tidak banyak berguna.
Ketika berdiskusi dengan mereka, saya justru kagum dengan kemampuan dan pemahaman mereka terhadap bidang pekerjaan masing - masing. Misalnya, seorang sahabat yang ahli dibidang kelautan dan perikanan pernah menjelaskan kepada saya masalah - masalah utama yang sebenarnya bisa diatasi disektor Perikanan. Dia bahkan hapal luar kepala jumlah potensi hasil perikanan di Aceh. Namun dia terlihat kecewa dan hanya tersenyum kecut ketika saya mencecar, kenapa hal itu tidak dapat diwujudkan?
Gubernur kita sekarang ini, adalah seorang politisi yang juga berlatar belakang akademisi. Tentunya beliau adalah orang yang percaya sains. Sains berbasis pada data dan fakta. Saya percaya itu. Masalahnya apakah perintah, gagasan dan arahan Gubernur mampu diterjemahkan secara operasional oleh para Kepala SKPA ? Wabah COVID 19 dan juga bencana alam yang kita hadapi sekarang ini, akan menjadi batu ujian yang sebenarnya bagi Gubernur dan jajaran birokrasinya. 5 Tahun dari sekarang akan terekam kembali jejak data yang ditinggalkan. Jika nanti disajikan dalam info grafis, akan terlihat apakah garisnya akan naik ke atas atau justru turun kebawah.
Begitulah sepertinya. Data dan informasi pada akhirnya, hanya menjadi sebuah rekaman. Rekaman terhadap jejak - jejak keberhasilan atau kegagalan kita dimasa lalu. Dan yang pasti saya selalu berdoa agar rekaman kita nanti tidak menunjukkan bahwa kita seperti sedang Peubulat Bulat Bola Sente.
Semoga
*Komisaris PTPN 1 Aceh