Pandemi Covid-19, Aktivis Di Mana?

Oleh: Fauzan Azhima

Saya meyakini virus korona ini punya sasaran. Mereka terus bereaksi sebelum mengenai sasaran utamanya. Seperti pada masa konflik, sasaran TNI/Polri fokus pada Tengku Abdullah Syafi’i dan Muallim Muzakkir Manaf, namun sebelum mereka dapat, kita juga sebagai prajurit menjadi sasaran antara.

Terlepas dari keyakinan itu, anggaplah sekarang kita prajurit yang juga sewaktu-waktu bisa menjadi sasaran peluru Covid-19. Tentu saja pencegahannya kita harus menghidupkan kembali “ilmu gerilya” agar semua kita selamat.

Para gerilyawan pada masa konflik memiliki mitra sukses, yaitu wartawan dan aktivis. Seperti janji para koboi, “Kita harus selalu bersama,” namun pada akhir cerita “sang kombatan” tidak pernah mengakui kata “kita” apalagi ucapan terima kasih.

Tidak berhenti di situ, saya fahami “aktivis yang benar” telah frustrasi karena rezim mengebiri akses ekonominya dan mematikan karakternya.Tidak apalah, anggaplah itu tabungan amal.

Sebagai “kaki cantik” gerilyawan, kontribusi wartawan sudah tampak melalui pemberitaan yang berusaha menekan kepanikan masyarakat. Sayangnya saya belum melihat peran aktivis dalam penanganan virus korona. Belum ada posko-posko sebagai pusat informasi, distribusi bantuan dan psiko sosial untuk mengembalikan semangat hidup masyarakat.

Peran aktivis kita seperti “diambil alih” oleh “para pembenci” yang memanfaatkan situasi melepaskan hawa nafsunya dengan caci maki dan menjadikan ladang kematian orang Aceh sebagai bahan candaan.

Bencana alam, bencana sosial, HAM, Penegakan Hak Masyarakat, Pelestarian Lingkungan Hidup adalah universalitas yang tidak lepas dari peran aktivis. Untuk itu, di tengah kondisi pandemi Covid-19 sangat dibutuhkan kontribusi para aktivis untuk menyelamatkan kehidupan.

(Mendale, 28 Maret 2020)