Badai Pasti Berlalu. No Lockdown!

Oleh: Surya Fermana*
Waktu puncak Corona dilihat dari grafik beberapa negara akan terjadi pada 45 hari setelah outbreak. Di Indonesia Outbreak pasien Covid 19 pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Bila melihat jangka waktu akan mencapai puncak pada pertengahan April. Teorinya agar tercapai imunitas maka 70-80% populasi terpapar Corona. Ketika terpapar ada yang terinfeksi sembuh dan ada yang meninggal. Untuk yang meninggal kebanyakan usia 55 tahun ke atas, balita dan yang mempunyai riwayat penyakit kronis. Imunitas tubuh menentukan dampak ketika terpapar.
Sesungguhnya social dan psyical distancing agar tidak ada lonjakan pasien sehingga kapasitas tenaga dan fasilitas kesehatan tidak memadai. Supaya kurva datar maka perlu dilakukan percepatan keterpaparan imunitas yakni dengan vaccine. Dalam uji coba di Cina pasien yang disuntik vaccine mengalami demam seperti anak-anak ketika dikasih vaccine. Demam disebabkan reaksi sistem imun tubuh kita merespon virus yang masuk karena vaccine sesungguhnya adalah virus yang dilemahkan.
Rumusnya adalah ada dialektika antara sistem imun vs Virus menuju harmoni dalam tubuh. Jadi, yang paling diperlukan adalah kesiapan medis pasien akut yang terinfeksi Corona. Rumah sakit menampung pasien covid 19 harus tersebar secara memadai di setiap daerah dengan terpenuhinya tenaga medis dan perlengkapan medis. Problem yang dialami adalah kelangkan APD dan ventilator. Kelangkaan Ventilator menjadi masalah di dunia saat ini. Ventilator sangat dibutuhkan pasien akut karena kesulitan bernafas yang menyebabkan kematian tinggi.
Apa substansi Lockdown? Sebenarnya lockdown tidak memiliki urgensi saat waktu udah berjalan 30 hari dari outbreak dan kurva sampai saat ini masih landai. Lockdown sebenarnya bukan solusi memutus berakhirnya serangan corona selagi herd imunity belum tercapai sebab setelah dilockdown tatkala dibuka lagi namun herd imunity belum tercapai maka akan terdapat lagi dari kasus impor (imported case) daerah lain. Sampai kapan berakhir? Bisa 2 tahun dan dalam jangka waktu itu ada banyak kerugian sosial, ekonomi dan politik yang harganya sangat mahal merugikan Indonesia. Lockdown, social distance, dan psyical distance adalah containment measure agar penyebaran tak terkendali dapat diatasi bukan untuk menjinakan virus.
Optimisme pertengahan April turun dari asumsi bahwa Indonesia memenuhi herd imunity karena yang terdapat mencapai 80%. Contohnya ditemukan 300 siswa Polisi di disukabumi yang positif covid 19 tapi tidak memiliki gejala dan sehat setelah dilakukan tes cepat. Dengan asumsi itu diyakini ada banyak terdapat di Indonesia tapi tidak memiliki gejala dan mencapai derajat herd imunity.
Lockdown rawan dimanfaatkan kelompok yang berencana mengubah dasar negara Pancasila menjadi faham khilafah yang memanfaatkan kekacauan kelangkan bahan pokok di masyarakat menjadi pengacau sekaligus menjadi pahlawan dengan menyiapkan sembako dan warung gratis di tengah terputusnya rantai komando pemerintahan.
Lockdown adalah kedaruratan tatkala hak asasi orang bepergian dicabut dan hukum biasa kehilangan daya rekat. Apalagi ketika tiap tingkatan dalam masyarakat menerapkannya masing-masing. Masyarakat menolak pemakaman pasien yang meninggal dan menolak para medis yang tinggal di daerahnya adalah satu situasi hukum kehilangan daya ikat. Mengutip contoh Prof AM Hendropriyono dalam filsafat intelijen ketika banjir terjadi promotor naik jalan tol di situ hukum kehilangan daya rekat dalam kedaruratan. Kedaruratan berbeda dengan hukum darurat militer/sipil. Kedaruratan adalah situasi ketiadaan hukum yang menciptakan hukum sendiri.
Perlu satu tindakan menormalisasi keadaan menghindari bahaya chaos untuk kembali menjadi teratur. Raja yang diktator lebih baik untuk keadaan normal daripada demokratis tapi chaos.
*Pemerhati Sosial Politik