Diskursus TPST Bantargebang Sebagai Icon Pembuangan Sampah Terbesar di Dunia

Diskursus TPST Bantargebang Sebagai Icon Pembuangan Sampah Terbesar di Dunia

Oleh: Bagong Suyoto*

BANTARGEBANG Kota Bekasi begitu popular di dunia internasional. Karena di wilayah ini ada titik pembuangan sampah terbesar di Asia, mungkin di dunia. Belum lama ini Waliota Bekasi Rahmat Effendi mengakui Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Sejumlah media massa asing pernah meliputnya. Aktor terkenal dunia sekaligus aktivis lingkungan dari Amerika Serikat Leonardo DiCaprio menyoroti TPST Bantargebang (7-8/9/2019). View panorama gunung-gunung sampah tampak unik dengan kerumunan manusia keranjang.

Sejak tahun 1989-an TPST Bantargebang dioperasikan, dan tahun 2004 disusul TPA Sumurbatu, luas 21 Ha. Letaknya berdampingan, keduanya di wilayah Kecamatan Bantargebang. Rata-rata sampah dibuang ke TPST Bantargebang sekitar 7.800 ton/hari, ketika terjadi banjir sampah bertambah hingga Rp 12.000 ton/hari. Sedang sampah Kota Bekasi dibuang ke TPA Sumurbatu sekitar 1.500 ton/hari. Total 9.300 ton/sampah dibuang ke wilayah Bantargebang. Menurut diperkirakan 50 juta ton sampah menumpuk di Bantargebang. Lalu, pertanyaannya, sampah yang begitu besar mau diapakan?

TPST Bantargebang memiliki sejarah panjang, namun tidak ada pihak yang mendokumentasikan sisi baik dan buruknya secara totalitas berdasar pijakan ilmiah. Sebagian peristiwa sejarah hilang menguap ke langit bersama ga-gas sampah. TPST Bantargebang mengalami pasang surut, pernah tenggelam akibat kasus kebakaran, longsong dan memakan korban manusia. Faktanya sampai kini TPST masih tegak.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta punya hubungan historis dalam pengelolaan TPST Bantargebang. DKI memiliki hutang begitu besar pada masyarakat Bantargebang, kini dapat menerima keberadaannya. Sejarah TPST Bantargebang dikupas secara tajam dalam buku Bagong Suyoto, Malapetaka Sampah (2005), Bagong Suyoto, Sejarah Kemelut Pengelolaan TPST Bantargebang (2015) dan sejumlah buku, kertas kerja, jurnal ilmiah dan dokumen lain.

Imbal-baliknya sudah semestinya diberikan. Pemprov DKI membalas jasa baik masyarakat Bantargebang bertahun-tahun merasakan bau tidak sedap dan lingkungan tercemar (udara, air dan tanah) akibat sampah dan tak perlu diminta. Kualitas lingkungan memburuk dan kesehatan warga terancam sejumlah penyakit pada 1999-2008. Sejak 2002/2003 ketika DKI dipimpin Sutiyoso memberikan dana kompensasi Rp 22 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan, saluran air, jembatan, sarana pendidikan dan ibadah, sarana kesehatan, sarana air bersih, modal koperasi, dll.

Tahun 2004 mulai digulirkan kompensasi uang bau Rp 50.000/KK/Bln. Dana kompensasi itu muncul pasca 26 warga yang dipenjarakan di Polres dan Polda Metro Jaya dibebaskan pada 2001 karena melakukan demo massif menutup TPST. Dus, dana kompensasi itu merupakan hasil perjuangan sendiri warga sekitar, bukan barang gratis. Uang bau terus meningkat Rp 100.000/KK/Bln, Rp 200.000 KK/Bln dan sekarang Rp 300.000/KK/Bln untuk 15.000 KK via bank sebagai proteksi terhadap tindak korupsi dan penyunatan pihak-pihak tertentu.

Berkat perjuangan warga sekitar TPST, kini setiap tahun Pemkot Bekasi memperoleh dana kemitraan jumlahnya ratusan miliar sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Jadi seluruh masyarakat Kota Bekasi telah menikmati uang kompensasi sampah. Dana kemitraan untuk pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan layang, perbaikan jalan, taman, dll.

Warga sekitar memberi syarat terhadap Pemprov DKI agar mengelola TPST sesuai dengan peraturan perundangan: UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, PP No. 81/2012, dll. Selanjutnya, sampah harus diolah dengan teknologi siap pakai agar sampah tereduksi secara maksimal sehingga tidak timbul gunung-gunung sampah.

Warga sekitar juga harus disediakan sarana kesehatan dan pengobatan gratis, sarana air bersih, dan yang tak kalah pentingnya adalah program-program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dukungan dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi produktif, bantuan dan fasilitasi pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dll. Progam-program tersebut harus melibatkan warga sekitar dan tetap sasaran, dan mengurangi praktek-praktek korupsi. 

Masa Depan TPST Bantargebang?

Bagaimana dengan masa depan TPS Bantargebang sebagai icon pembuangan sampah terbesar di dunia? Sekarang ini semua zona sudah penuh sampah dan semakin tinggi, antara 40-50 meter. TPST Bantargebang dengan luas 113,15 Ha menjadi andalan utama Pemprov DKI Jakarta, sebelum intermediate treatment facility (ITF) terbangun di wilayah indoor. TPST terbagi atas landfill 81,40 Ha, sarana dan prasarana 23,30 Ha. Total lahan milik DKI seuas 104,7 Ha dan swasta 8,45 Ha. Lahan TPST berada pada wilayah Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik dan Sumurbatu Kecamatan Bantargebang.

TPST Bantargebang telah memberi manfaat bagi warga sekitar, salah satunya penyediaan lapangan kerja. Jumlah tenaga kerjadi TPST Bantargebang per Juni 2020 sebanyak 779 orang. Dengan rincian 50.58% berasal dari Kota Bekasi, 22.00% dari wilayah DKI Jakarta, 27.42% dari wilayah lainnya. Divisinya meliputi alat berat, montir dan teknisi, timbangan, titik buang dan perapihan, pengemudi, 3R dan penghijauan, IPAS, keamanan, Pesada: penyapu jalan, petugas pencucian kendaraan, BBM, rumah tangga dan PKK, kepegawaian dan administrasi, PLTsa (oleh pihak ketiga), landfill mining, power house (oleh pihak ketiga).

Jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang (tiap hari/ton) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2015 rata-rata sebanyak 6.419,14 ton/hari, tahun 2016 rata-rata sebanyak 6.561,99 ton/hari, tahun 2017 rata-rata sebanyak 6.875,49 ton/hari, tahun 2018 rata-rata sebanyak 7.452,60 ton/hari, tahun 2019 rata-rata sebanyak 7.702,07 ton/hari.

Sedang komposisi sampah (Dinas LH DKI, 2017); plastik 33%, PET 2%, kain 9%, kertas 4%, karet/kulit 3%, sisa makanan 39%, kayu dan rumput 4%, sampah B3 4%, dan lain-lain 2%. Berat jenis 0.20 Kg/liter, kadar air 10.39%, nilai kalori 1.373,12 Kkal/Kg dan Volatile matter 326,61%. Hasil komposisi ini hanya sampling. Karena pada umumnya sampah yang dibuang ke TPST itu masih campur-baur sangat complicated. Sehingga ke depan perlu adanya pemilahan dari sumber. Pemilahan dari sumber merupakan sumber utama kelamahan pengelolaan sampah di DKI dan Indonesia pada umumnya. Jika kita punya data komposisi sampah secara riel dan valid akan lebih mudah menanganinya pada tahap berikutnya. Sebagai inputs dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, analisa dan penafsiran dalam implementasinya lebih bagus.

Pengurangan, guna ulang dan daur ulang sampah yang besar dilakukan pemulung. Sekitar 6.000 lebih pemulung mengais sampah di TPST Bantargebang. Jika setiap hari pemulung mengais rata-rata 150 Kg, berarti 6.000 pemulung x 150 Kg = 900.000 kg atau 900 ton. Berarti jasa pemulung mampu mengurangi sampah 900 ton/hari. Luar biasa, kegiatan pemulung mengalahkan teknologi pengolahan sampah yang tersedia di TPST? Pengurangan terjadi juga karena dekomposisi terutama sampah organic. Dekomposisi alamiah sampah organik butuh waktu 3-4 bulan. Sedang sampah plastik konvensional butuh waktu ratusan hingga ribuan tahun.  (Sumber: Dinas LH DKI Jakarta, 2019)

Sekarang alat berat TPST Bantargebang sudah mencukupi. Jumlah alat berat 108 unit terdiri dari standar excavator 63 unit, excavator long arm 4 unit, bulldozer 26 unit, wheel loader 10 unit, refuse compactor 5 unit. Alat berat itu sebagian besar masih baru.

TPST Bantargebang dilengkapi dengan berbagai infrastruktur pisik, kantor administrasi, alat berat, jembatan timbang, pencucian kendaraan dan lainnya sangat representatif dan modern. Warga sekitar, aktivis lingkungan dan pakar meminta agar TPST Bantargebang punya proven-technology pengolahan dan pengurangan sampah skala besar. Tingkat reduksi 80-100%. Merupakan syarat utama yang harus ada. Sebagai pengolahan dan reduksi sampah di TPST sedang dipertanyakan banyak pihak?

Saat ini sebetulnya TPST Bantargebang sudah memiliki beberapa teknologi pengolahan sampah, diantaranya composting, Refused Derived Fuel (RDF), power house (penangkapan gas-gas sampah dikonversi jadi listrik), PLTSa dengan teknologi termal. Tetapi kapasitas teknologi pengolahan dan reduksi sampah relatif kecil, sekitar 150-250 ton/hari, tidak sebanding dengan jumlah sampah yang masuk ke TPST tiap hari. Data tersebut perlu crosscheck, verifikasi dengan riset ilmiah. Ini menjadi perhatian dan diskursus menarik!

Pemprov DKI mestinya menambah lahan setidaknya 30-40 Ha untuk pembangunan infrastruktur dan penempatan teknologi serta pembangunan zona baru. Namun belum mendapat persetujuan Gubernur Anies Baswedan. Lalu, pada anggaran 2019/2020 Dinas LH DKI menjalankan proyek landfill mining. Yaitu menambang zona tidak aktif agar bisa digunakan kembali sebagai landfill dan memperpanjang masa pelayananTPST. Rekomendasi tim ahli: Landfill miningdi Zona IC, IV, dan III total 29,26 Ha.

Selanjutnya dilakukan kegiatan proyek Reprofiling. Penataan zona aktif untuk menstabilkan lereng, meningkatkan kapasitas, dan fungsi estetika. Reprofiling membutuhkan pemasangan sheet pile di sekeliling zona. Rekomendasi tim ahli: Reprofiling zona I, II, dan V, total 47,46 Ha.

Berbarengan dengan kegiatan di atas dilakukan Peprofiling dan Penutupan zona/alih fungsi/RTH untuk konservasi lingkungan dan fungsi estetika. Rekomendasi tim ahli: Alih fungsi zona VI A dan VI B, total 4,70 Ha. Tahun 2019 DLH sudah melakukan MoU dengan PT. Solusi Bangun Indonesia (dahulu bernama Geocycle Holcim Indonesia) untuk melakukan observasi pemanfaatan hasil landfill mining menjadi RDF. Produk landfill mining berupa tanah/kompos, yang dapat digunakan sebagai cover soil, dan Sampah anorganik, yang dapat dipilah lalu diproses menjadi refused derived fuel (RDF), dijual/daur ulang, atau diinsinerasi di PLTSa.

Gubernur Anies Baswedan dan Ketua DPRD DKI harus peka terhadap masalah sampahnya dan masa depan TPST Bantargebang. Mereka harus menjalankan prinsip-prinsip paradigma baru pengelolaan sampah sebagaimana mandat UU No. 18/2008, PP No. 81/2012, dll. Berbagai teknologi dapat digunakan untuk mengolah dan mereduksi sampah sekala besar. Jika tidak ada dukungan proven-technology skala besar sulit untuk mencapai keberhasilan. Kondisi dan jumlah timbulan sampah DKI Jakarta sangat besar, berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.

DKI Jakarta memiliki anggaran pengelolaan sampah cukup besar, Rp 7,3 triliun tahun 2019/2020. Berarti tidaklah sulit memilih teknologi siap pakai yang mampu mengolah dan mereduksi sampah skala besar. Gubernur, DPRD, swasta dan masyarakat DKI Jakarta harus berkolaborasi menangani sampahnya baik di wilayah indoor maupun TPST Bantargebang. Sayangnya, berbagai proyek yang direncanakan tahun 2020 urung diimplementasikan karena pandemic COVID-19 terus berlangsung. Pemprov DKI fokus menangani COVID-19 meskipun tiap hari sampah terus bertambah di TPST Bangergebang. Tiada hari tanpa mengurusi sampah.

*Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Dewan Pembina KAWALI Indonesia Lestari