Catatan Pilu Bagi Pekerja di Hari Buruh 2020

Penulis : A. Farhan Aqil Syauqi Pradanta*
Tanggal 1 Mei merupakan hari yang bersejarah bagi perjuangan kelas pekerja internasional. Berbagai kegiatan dilakukan seperti aksi solidaritas hingga festival untuk memperingati kebebasan bagi buruh sedunia. Rangkaian ini miliki arti untuk membulatkan tekad demi bebas dari ketertindasan kaum kapitalisme.
Berbeda pada tahun 2020 ini dimana pandemi COVID-19 memberikan kisah pilu dari pekerja yang terdampak PHK, tetap bekerja disaat pandemi, tidak boleh mudik hingga ancaman terpapar virus Corona. Namun, negara seolah-olah tutup mata bagi perjuangan kelas pekerja. Ribuan orang menjadi pengangguran baru ditengah pandemi dan menambah catatan pilu bagi perjuangan buruh di tahun 2020.
1. Dikebutnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sarat akan kontroversi
Ditengah pandemi, DPR secara terang-terangan melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. RUU ini sudah banyak ditentang oleh berbagai pihak. Alih-alih penyelamatan ekonomi disaat COVID-19 ini menjadi alasan utama dibalik pembahasan RUU Cipta Kerja.
Masalah ketenagakerjaan tertulis pada Bab IV RUU Cipta Kerja yang isinya terkait perubahan beberapa ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya pada Pasal 89 RUU Cipta Kerja yang memudahkan perekrutan tenaga kerja asing (TKA). Padahal saat ini pemberi kerja bagi tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri dan pejabat yang ditunjuk.
Serikat buruh juga mengkritik perubahan aturan mengenai upah minimum yang tidak lagi mengatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP) dan menghapus indikator inflasi dalam formula perhitungan upah minimum.
Selain itu, masalah pesangon juga menjadi sorotan kalangan pekerja dimana pesangon yang diterima pekerja jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berpotensi semakin kecil. Dalam RUU Ciptaker juga memperbolehkan pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan dan tidak ada batasan waktu kontrak
RUU Omnibus Law ini lebih menguntungkan pengusaha dibandingkan kesejahteraan buruh. Terdapat beberapa kebijakan yang menyejahterakan buruh diubah seperti penghapusan cuti panjang bagi pekerja yang sudah bekerja selama 6 tahun dan pengurangan jam bekerja. Jam kerja yang dikurangi ini dikhawatirkan akan mengurangi pendapatan dari yang sebelumnya.
2. Maraknya Pemutusan Hubungan Kerja ditengah Pandemi
Menurut data Dinas Ketenagakerjaan Jawa Barat, sebanyak 12.661 buruh dari 375 perusahaan dipecat dan 50.187 buruh lainnya dirumahkan. Hal ini diberlakukan karena berkurangnya bahan baku yang akan membuat produksi menurun. Bahan baku ini khususnya yang impor seperti negara China dan negara yang terpapar COVID-19. Industri yang berpotensi hal ini adalah industri padat karya seperti tekstil, sepatu, garmen, makanan, minuman, otomotif dan elektronik.
Faktor terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lainnya adalah menguatnya kurs Dollar terhadap Rupiah. Per tanggal 20 Maret 2020, nilai tukar Dollar terhadap mata uang Indonesia menembus angka Rp. 16.000. Tentu ini menjadi dilema bagi pengusaha importir karena mereka harus membayar dengan Dollar sehingga menyebabkan delay payment bagi perusahaan.
Menurunya kunjungan wisatawan ke Indonesia menjadi faktor lain dalam pemecatan masal ditengah pandemi. Sejak awal, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menutup akses pariwisata agar memutus mata rantai virus Corona ini. Jumlah pengunjung restoran, hotel dan bandara pun menurun drastis. Pada hari Jumat 24 April 2020, Kementerian Perhubungan secara resmi mengumumkan larangan mudik untuk sementara sehingga memicu terjadinya gelombang PHK besar-besaran disektor pariwisata.
*Mahasiswa Politeknik STTT Bandung
Ketua Umum MPM KM-Politeknik STTT Bandung