Bagaimana Pengelolaan Harta Dalam Islam??

Bagaimana Pengelolaan Harta Dalam Islam??

Oleh: Tasya Septin Wulandari*

Islam menempatkan manusia pada posisi khalifah, dimana manusia di amanahkan untuk memakmurkan kehidupan dunia yaitu dengan mengelola dan memanfaatkan bumi, langit, dan isinya yang diiringi dengan pertanggungjawaban atas semua perlakuannya tanpa mengikuti hawa nafsu yang berlebihan. Yang mana dimaksudkan bahwa manusia harus mengarahkan pengelolaan kepada pemanfaatan dan menghindari dari segala bentuk pemubaziran dan menghindari kerusakan lingkungan (Ridwan Nurdin Muslina, 2017:359).

Kegiatan ini untuk mencapai tujuan utama syariat yakni kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda. Hal ini menjadikan usaha mencari harta dalam Islam adalah wajib demi menjaga semua tujuan tersebut. Sehingga, mengindikasikan bahwa tidak ada batasan pada seseorang yang berusaha dan bekerja selama sesuai dengan anjuran syariah yaitu tidak melanggar etika dan nilai-nilai syariah. Karena harta dalam Islam hanyalah kepemilikan sementara (tidak bersifat mutlak) (Usman, 2013: 86-87).

Lahirnya konsep manajemen aset dalam Islam dilandasi oleh hadist:

 “Sebaik-baiknya harta adalah harta yang ada pada orang shaleh.” (HR. Ahmad) (Ath-Tharsyah, 2003:47).

Dari hadist diatas, diartikan bahwa pengelolaan harta dicerminkan dari keshalehan seseorang, dimana harta yang dikelola dengan niat, cara dan tujuan untuk mengoptimalkan ibadahnya kepada Allah SWT akan sangat berbeda dengan harta yang dikelola untuk pemuas kebutuhan. Sebagaimana tercantum pada surat Al-Jumu’ah, Allah SWT memberikan kebebasan pada manusia dalam mencari rizki namun, harus ingat bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk mencari rizkinya dengan menekankan tetap ingat pada-Nya, karena semua kegiatan manusia diawasi oleh-Nya (Musafa Al-Maragi, 1993:166).

Sesuai dengan yang tergambarkan pada konsep teori al-kasb dan infaq menurut Asy-Syaibani, bahwa dalam teori al-kasb diuraikan alasan seseorang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyyat. Sedangkan dalam teori infaq mengharuskan seseorang untuk membelanjakan dan mengembangkan asetnya dengan cara yang halal serta memperhatikan tingkat prioritas yang utama. Orientasi bekerja bukan hanya mencari harta dan memperoleh keridhaan Allah SWT, tetapi juga merupakan usaha mengaktifkan perekonomian termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Seperti halnya tingkat stabilitas bank syariah yang tetap terjaga walau sedang terjadi krisis keuangan tahun 2008. Sebab, mereka memperlakukan pengelolaan aset dengan niat, cara dan tujuan untuk mengoptimalkan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga memperoleh keridhaan dari-Nya. Selain itu dalam pengelolaan aset, kegiatan yang tak kalah penting juga adalah menyisihkan harta. Yang merupakan kegiatan mengatur atau menyimpan harta untuk masa depan. Biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) menabung, kegiatan ini dilakukan untuk kebutuhan dimasa depan, (2) investasi, yang dimaksudkan dengan mengembangkan harta melalui pemanfaat berbagai sumber daya untuk memperoleh keuntungan sejalan dengan prinsip syariah (Rivai dkk, 2010:442). Dengan demikian, apabila segala sesuatunya didasarkan pada-Nya pasti akan berjalan dengan lacar, bermanfaat, berkah, dan mendapat keridhaan dari Allah SWT.

*Mahasiswa Uin Raden Intan Lampung (Prodi Perbankan Syariah)