Kenapa Orang di Aceh yang Dihukum Gegara Korona?

Kenapa Orang di Aceh yang Dihukum Gegara Korona?

Oleh: Djamaludin Husita

Alkisah, orang-orang yang di Aceh tidak ada satupun yang terinfeksi coronavirus disease (Covid-19). Kalau tidak percaya, saudara boleh cek satu persatu.

Tetapi, kenapa sudah ditemukan ada yang  positiv covid-19 bahkan ada yang meninggal di Aceh?. Nah, soalannya. Semua yang sudah terinfeksi korona itu adalah orang-orang Aceh yang pulang dari luar  atau orang luar yang datang ke Aceh. Bukan orang yang di Aceh yang tak  kemana-mana terinfeksi korona.

Sekarang, yang menurut saya kurang "srek" kalau tidak boleh dibilang gila adalah orang di Aceh yang tak pernah kemana-mana justru seolah-olah dihukum.

Selama ditemukannya yang positif korona di Aceh yang kebanyakan tidak kemana-mana dibatasi aktivitasnya. Tidak boleh ke warung kopi padahal ini sudah menjadi Trade Mark orang Aceh, tidak boleh lagi ngumpul bareng-bareng lagi. Tidak boleh ke Mesjid berjamaah (ini bukan kajian fiqh saat darurat ya) padahal Aceh adalah negeri syariat. Bahkan, terakhir diberlakukan jam malam. Bagi orang yang menikmati Aceh selama ini, situasi seperti saat ini atau dengan istilah distancing Social dirasakan sebagai sebuah hukuman. Padahal orang- orang yang di Aceh yang tidak kemana-mana tidak salah apa-apa.

Padahal yang semestinya kena sanksi atau hukuman itu adalah orang Aceh yang pulang ke Aceh atau orang luar datang ke Aceh, apakah dia pembisnis, pelancong atau bahkan majelis ta'lim. Apalagi pernah singgah didaerah episentrum covid-19.

Padahal bila orang-orang seperti ini apalagi mereka jelas-jelas baru pulang dari daerah episentrum korona yang diperlakukan khusus (jika tak boleh dibilang sanksi atau hukuman) itu akan lebih gampang memutus rantai penyebaran korona.

Misalnya, Aceh cuma satu Bandara, dari awal semestinya dibatasi. Saat penumpang turun, mereka itu diperintahkan dengan cara keras tak boleh ke warung kopi, mereka ini tak boleh ngumpul, pokok dibatasi diam di rumah selama 14 hari.

Bisa jadi, mereka ini beri label, apakah seperti gelang yang tak mudah dilepaskan, sehingga masyarakat lain atau orang- orang kampung atau pak geuchik dan aparat gampong tahu kalau mereka ini tak boleh didekati dulu dan aktivitasnya dibatasi. Biar orang tahu pemda mengumumkan bahwa yang tanda itu tak boleh didekati dulu sebelum diyakini dia tak kena covid-19.

Begitu pula perlakuan yang sama bagi mereka yang pulang dengan Bus atau L-300 (pasti yang dengan Bus/L-300 itu umumnya pulang dari medan) baik  jalur timur maupun jalur barat.

Pada saat yang sangat ekstrem seperti saat ini, mereka yang turun dari Pesawat langsung semuanya wajib dibawa ke tempat penampungan sementara yang disediakan pemda. Sesampai ditempat tersebut, apakah teridentifikasi atau tidak bila mrk mereka mau pulang harus bersumpah dengan lafaz Demi Allah mau melakukan isolasi diri. Kalau terlihat main- main seperti tidak mau karantina mandiri, dengan segala konsekwensi aparat atau petugas wajib menahan mereka utk dikarantina massal.

Sehingga dengan demikian jelas mana yang berpotensi terinfeksi dan mana yang tidak.

Apa yang kita rasakan saat ini, seperti kita berada di hutan belantara. Kita tidak tahu siapa yang sudah bersentuhan dengan yang berpotensi terinfeksi dan tidak tahu siapa yang memang sudah terinfeksi. Karena yang berpotensi tidak dipisahkan atau ditandai. Padahal bila yang berpotensi terinfeksi diidentifikasi, situasi seperti saat ini bisa dihindari.

Kenapa ini tidak dilakukan? Karena mereka-mereka (jangan besar- besar dibaca/sir) tidak cerdas membaca situasi atau malas berpikir, meski penampilan parlente).

Akibatnya, maka muncullah kebijakan yang seperti saat ini. Orang-orang di Aceh, yang tidak kemana-mana, tidak salah apa-apa, yang sehari-hari,  kiri kanan cari nafkah, seolah-olah diberi perlakuan seperti orang bersalah (bila tak boleh dikatakan diberi sanksi atau hukuman).

Tapi mau bilang apa? Kalau pengambil kebijakan kadarnya terbatas. "Anggota Dewan juga Taheu mantong" alias diam tidak bersuara.