GMBI Desak DPRK dan Pemerintah Aceh Timur Segera Susun Rancangan Perbup CSR

GMBI Desak DPRK dan Pemerintah Aceh Timur Segera Susun Rancangan Perbup CSR
Ketua Investigasi GMBI Distrik Aceh Timur Saiful Anwar (Foto: Ikhsan/monologis.id)

ACEH TIMUR - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) mendesak Pemerintah Aceh Timur sesegera mungkin menyusun Qanun atau peraturan daerah tentang sanksi bagi penanam modal yang mengabaikan Corporrate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat.

Ketua Investigasi GMBI Distrik Aceh Timur Saiful Anwar menilai kinerja Pemerintah Aceh Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur  sangat  terlambat dalam membentuk Peraturan Bupati (Perbub) dan Qanun CSR.

“Bisa kita katakan bahkan tak peduli dalam membentuk regulasi CSR,” tegasnya, Rabu (18/11).

Menurutnya, pemerintah pusat sebagai stakeholder justru sudah merespon keinginan masyarakat  sejak 2007 dengan melahirkan Undang-undang Nomor 40 dan telah disahkan oleh DPR pada 20 Juli 2007.

UU ini, lanjut Saiful Anwar, mengharuskan perusahaan yang bergerak dalam pengolahan atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) untuk melakukan CSR.

Pasal 74 UU tersebut berbunyi :

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

"Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga menegaskan dalam pasal 15 huruf b berbunyi; setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan," katanya.

Kemudian, sambung Saiful, pada pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa apabila tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

"Walaupun terlambat, upaya ini sebagai sikap responsif anggota “parlemen” terhadap tuntutan masyarakat agar perusahaan di Kabupaten Aceh Timur terhadap persoalan lingkungan dan relasi sosial, dan menggunakan dana sosial tersebut untuk memberdayakan masyarakat miskin di Aceh Timur," jelasnya.

Lebih lanjut Saiful Anwar mengatakan, dana CSR menjadi isu yang mencuat cukup santer sejak tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan menjadi sebuah kegiatan yang bersifat mandatory atau kewajiban.

"Karena selama ini kegiatan CSR dimaknai sebagai tindakan yang bersifat sukarela atau voluntary sebagaimana kegiatan-kegiatan kepekaan sosial serta ibadah-ibadah sosial lainnya," ungkapnya.

Saiful Anwar memperjelas, CSR adalah kewajiban setiap perusahaan baik BUMN maupun BUMS dengan menyisihkan dana keuntungan untuk membantu masyarakat miskin dari sisi pendidikan, kesehatan, pra sarana dan sarana umum.

"Dana CSR merupakan sebuah komitmen bisnis perusahaan untuk berperilaku etis dan kontributif terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, seraya meningkatkan kwalitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat luas," imbuhnya.

Untuk itu, kata dia, LSM GMBI Aceh Timur Mendesak Pemerintah dan DPRK Aceh Timur untuk sesegera mungkin menyusun rancangan Perbup dana CSR.

"Selama ini masyarakat kesulitan mendapatkannya,  puhak masyarakat memiliki hak mengawasi perusahaan yang memanfaatkan SDA di daerah mereka untuk memberdayakan dana CSR tersebut. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan (Perbup) sebagai payung hukum," pungkasnya.