Belajar dari Kuba: Melawan Pandemi Covid-19

Belajar dari Kuba: Melawan Pandemi Covid-19

Oleh: Fen Budiman*

Kabar serangan COVID-19 yang melanda Wuhan, Tiongkok telah membuat geger sejumlah Negara. Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global, maka sejumlah badan kesehatan di tiap-tiap negara bekerja keras mencegah masuknya virus ini. Berbagai protap kesehatan dilakukan demi upaya preventif hingga penanggulangan secara kuratif.

Saya sendiri memperhatikan betapa sulitnya situasi ini, jika dihadapi oleh negara Indonesia. Bagaimanapun, negara dengan layanan kesehatan yang masih tertinggal pasti akan terseok-seok jika wabah ini meningkat dalam waktu yang sangat cepat. Apakah Indonesia sanggup menghadapi wabah ini? Tentu jawabannya bukan hanya BERDOA agar terhindar. Kita harus bekerja keras menanggulangi wabah Covid-19 dengan mengerahkan seluruh kemampuan mulai dari kebijakan, layanan kesehatan, tenaga medis, fasilitas medis hingga pengobatan. Namun harapan akan tinggal harapan, jika dalam kondisi emergency, negara tidak mengambil langkah tegas dan terkordinasi dalam protap penanganan Covid-19 dari pusat hingga ke daerah. Apalagi layanan kesehatan kita selama ini masih sangat jauh dari apa yang disebut “kesehatan untuk semua”. 

Ketika Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan 2 (dua) orang positif terpapar virus corona sempat terjadi panic buying di masyarakat. Informasi tersebut tidak direspon dengan kewaspadaan tetapi justru memicu masyarakat berbondong-bondong menyambangi sejumlah tempat perbelanjaan. Bahkan, apotek-apotek pun tak luput dari aksi borong ini. Banyak orang memborong dan membeli masker, hand sanitizer serta sejumlah obat-obatan dalam jumlah besar.

Panic buying adalah dampak atas ketiadaan informasi dan lambannya sistem layanan kesehatan yang menghadirkan sejumlah protap. Kondisi ini seharusnya diantisipasi jauh-jauh hari sebelum adanya laporan bahwa Indonesia positif terpapar virus corona. (Kesannya tiba-tiba dan tidak masuk akal)

Kepanikan atas bayang-bayang ketakutan wabah corona yang memukul psikologi masyarakat  tersebut menguntungkan sejumlah pengusaha masker dan produk hand sanitizer. Sementara, pemerintah sendiri terkesan tak mampu mengendalikan situasi pasar dan memberikan akses perlindungan bagi masyarakat tanpa pembedaan, baik masyarakat yang kaya maupun yang miskin.

Bayangkan saja, jika aksi borong tersebut menyebabkan kelangkaan barang sementara permintaan sangat tinggi maka yang terjadi adalah kenaikan harga barang. Nah, orang-orang miskin bisa apa menghadapi situasi ini? Yang ada, mereka yang miskin akan tertinggal jauh dibelakang dan sulit memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Belajar dari KUBA

Jika kalian menanyakan soal layanan kesehatan, tengoklah Kuba yang sangat maju dalam layanan kesehatannya. Kuba terbilang negara yang mandiri dan mampu menyamai layanan kesehatan negara-negara maju, mulai dari tenaga medisnya, fasilitas kesehatan hingga obat-obatan. Solidaritas Kuba pada dunia dalam memberikan layanan kesehatan sudah tak diragukan lagi. Negara komunis ini, secara historis telah membantu memberikan layanan kesehatan gratis kurang lebih di 160 negara di dunia. Dan selalu menjadi garda terdepan dalam kondisi darurat medik skala global.

COVID-19 adalah pandemik global dengan serangan meluas ke 83 negara. Dalam situasi dunia yang collaps akibat covid-19, Kuba menyiapkan tenaga medisnya yang tanggap dan mengirimkan ke sejumlah negara termasuk China dan Italia. Jauh sebelum ini, Kuba telah berulang kali mengirimkan tenaga medisnya ke negara-negara yang mengalami bencana, mulai dari gempa hingga wabah. Pengembangan obat-obatan di Kuba pun sangat maju, terbukti dengan mewabahnya COVID-19 Kuba mengembangkan pengobatan Interferon Alpha 2B yang terbukti berhasil memerangi virus corona di beberapa negara seperti China, Spanyol, Italia.

Padahal jika netizen Indonesia memperhatikan, Kuba ini bukan jenis negara maju seperti Amerika. Malahan negara ini boleh dibilang adalah negara yang PDB yang rendah, gengs! Dilansir oleh berdikarionline.com, PDB Kuba hanya 87 juta dibanding Indonesia yang sudah menembus 1 Trilliun USD. Ya, Kuba memang negara miskin, tetapi jangan salah mereka paling maju soal layanan kesehatan. (Masih mau bilang Indonesia gak sanggup membiayai kesehatan rakyatnya?) Hmm..

Ada hal penting yang bisa dilihat dari negara Kuba dan patut ditiru oleh Indonesia dalam pembangunan sistem layanan kesehatan yang berdasarkan pada kepentingan semua orang. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi kita. UUD 1945 sudah mengatur jaminan kesehatan sebagai jaminan sosial. Tapi dalam praktiknya, sistem jaminan sosial ini kerap dibelokkan menjadi asuransi sosial. Sehingga, boleh dikatakan bahwa negara sudah melenceng jauh dari amanat konstitusi. Saya kadang berpikir, bahwa kesulitan melawan COVID-19 sama sulitnya dengan Melawan Komersialisasi Kesehatan di Indonesia!

Kembali ke Kuba, sejak COVID-19 melumpuhkan dunia permintaan obat Interferon Alpha 2B kian meningkat. Kuba tidak segan-segan mensuplai obat-obatan ini ke pasar internasional. Bahkan, negara-negara seperti Salvador, Jamaica dan Chile mulai mengirimkan permintaan bantuan ke Kuba.

 “Humanity” adalah alasan mendasar mengapa Kuba bekerja keras memerangi virus corona sebagai pandemik global saat ini. Track Record Kuba dalam solidaritas internasional bukan hal yang baru. Kuba sudah beberapa kali bersolidaritas ke Indonesia dan mengirimkan bantuan saat terjadi bencana. Apa yang mereka lakukan terhadap Indonesia, tidak berbeda dengan apa yang mereka lakukan terhadap negara lain. Seperti saat mereka membantu mengatasi wabah Ebola yang melanda Afrika.

Kuba telah memberi sebuah pelajaran besar pada kita bahwa kesulitan mereka menghadapi kemiskinan hingga embargo dari Ameriga Serikat tak sedikitpun meruntuhkan solidaritas mereka. Internasionalisme medis yang dilakukan Kuba adalah bentuk komitmen kemanusiaan paling tertinggi yang patut diacungi jempol dalam situasi sulit melawan wabah COVID-19.

Kita patut mencerna kalimat salah satu dokter di Kuba, yakni: dr. Luis Herrera. Dokter Luis adalah salah satu dokter yang terlibat dalam pengembangan obat interferon Alpha 2B, salah satu pengobatan paling efektif dalam melawan pandemi corona.

“Dunia memiliki kesempatan untuk memahami bahwa kesehatan bukanlah aset komersial melainkan hak dasar.”

Respect !!

 

 

*Penulis adalah Pengurus DPP API Kartini yang berprofesi sebagai perawat dan sekarang bergabung dengan para relawan di RS Darurat di Wisma Atlet  Kemayoran.