Akademisi UBL: Putusan MK Jelas! Sekolah Negeri Larang Lakukan Pungutan

BANDARLAPUNG-Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan larangan keras terhadap segala bentuk pungutan biaya pendidikan di sekolah negeri, termasuk yang dilakukan melalui skema sumbangan pendidikan oleh komite sekolah.
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL), Anggalana, menegaskan bahwa putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada 27 Mei 2025, memperkuat prinsip pendidikan dasar gratis yang dijamin konstitusi dan melarang praktik pungutan terselubung pada jenjang SD dan SMP di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung.
“Putusan ini menyatakan penyelenggaraan pendidikan dasar SD dan SMP, serta SMA/SMK negeri merupakan tanggung jawab negara dan pemerintah daerah. Dengan pembiayaan yang sudah dijamin melalui APBN (BOS) dan APBD (BOSDA/Subsidi Biaya Pendidikan), sekolah tidak boleh memungut biaya dari peserta didik,” tegas Aktivis Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung ini, Kamis (14-8-205).
Anggalana juga menegaskan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah memang dapat menggalang dana, namun sifatnya harus sukarela, tidak mengikat, dan tanpa paksaan.
“Penentuan besaran nominal sumbangan atau batas waktu pembayaran otomatis mengubah statusnya menjadi pungutan, yang dalam konteks sekolah negeri berarti melanggar hukum dan berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli),” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Kampanye Forum Wali Murid Kota Bandarlampung ini.
"Jika nominal dan waktu ditentukan, itu bukan lagi sumbangan, melainkan pungutan. Dan pungutan ini jelas dilarang untuk sekolah negeri," imbuhnya.
Menurutnya, putusan MK bersifat final and binding, sehingga pemerintah daerah wajib patuh. Kepala daerah memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah gratis, sesuai Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan minimal 20 persen APBD untuk pendidikan.
“Pengabaian terhadap putusan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik pemerintahan dan pengabaian hak konstitusional warga negara. Ombudsman RI dapat menerima laporan masyarakat, bahkan terbuka peluang gugatan class action atas dugaan pelanggaran hak asasi, bahkan bisa terjerat pidana korupsi,” tuturnya.
Selain itu, penggunaan dana pendidikan yang tidak sesuai peruntukan dapat masuk kategori pelanggaran UU Keuangan Negara dan membuka potensi tindak pidana korupsi. Menteri Dalam Negeri juga dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada kepala daerah yang tidak mematuhi ketentuan ini.
“Dengan putusan ini, orang tua dan wali murid diminta berani menolak jika ada pungutan dari sekolah negeri, baik melalui komite maupun mekanisme lain yang bersifat memaksa. Setiap praktik pungutan dapat dilaporkan sebagai bentuk pelanggaran hukum,” terangnya.
Putusan MK Nomor 3/2024 menjadi pengingat bahwa pendidikan dasar gratis adalah amanat konstitusi, bukan sekadar janji politik. Pelanggaran terhadapnya bukan hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga membuka konsekuensi hukum serius bagi pejabat yang terlibat.
“Masyarakat tidak boleh diam. Orang tua harus berani berkata tidak! terhadap pungutan terselubung, berani melapor, dan berani menuntut haknya. Pendidikan gratis bukan hadiah dari pejabat, melainkan hak yang dijamin oleh konstitusi dan dibiayai dari uang rakyat,” tuturnya.
Selain itu, terkait adanya dugaan pungutan biaya pendidikan dalam bentuk sumbangan biaya pendidikan melalui komite sekolah di beberapa sekolah Provinsi Lampung, maka perlu kepala daerah dan/atau melalui Dinas Pendidikan untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pihak sekolah agar tidak terjadi pungutan liar di sekolah.
Apabila hal ini tidak dilakukan maka kepala daerah terkesan melakukan pembiaran terhadap perbuatan yang melanggar Undang-undang oleh pihak sekolah. Sehingga perlu kebijakan imperatif dalam bentuk regulasi daerah untuk mengatasi persoalan pungutan di sekolah dan didorong kebijakan anggaran yang terukur dan terencana, transparansi serta akuntabel.
“Kita perlu bicara tegas, setiap rupiah yang dipaksa keluar dari kantong orang tua murid sekolah negeri adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Kepala daerah yang membiarkan ini terjadi berarti mengabaikan kewajiban hukum dan moralnya. Itu bukan sekadar kelalaian birokrasi, tetapi pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) yang menjamin pendidikan dasar gratis,” pungkasnya.