Yusdianto: KPU Tega 'Monopoli' Pilkada Lewat Regulasi

BANDARLAMPUNG – Akademisi Universitas Lampung (Unila) Yusdianto meyoroti penyelengaraan pilkada di tengah pandemi COVID-19. Dia menyoroti tentang PKPU nomor 10 tahun 2020.
Menurut Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila ini, PKPU nomor 10 ini tidak ada bedanya dengan PKPU nomor 6 tahun 2020 tentang pilkada serentak. Tidak ada regulasi yang mengatur tentang harus banyak menggunakan inovasi perubahan terutama hal-hal yang beraikt dengan kampanye, tatap muka, dan berbagai macam yang berkaitan dengan pengumpulan massa dalam jumlah banyak.
“Hanya menyertakan syarat protokol kesehatan disetiap tahapan. Saya kira hal itu kurang pas. Mestinya beberapa tahapan yang dibuat oleh KPU mentransformasikan pola-pola digitalisasi,” kata dia, Senin (07/09).
Dia juga menyebut, pola-pola lama seperti kampanye yang dibebankan kepada APBD sangat tidak relevan, mengingat saat ini kondisi Negara dalam keadaan krisis akibat pandemi COVID-19.
“Kita sama-sama tahu, saat ini kondisi keuangan Negara sedang terfokus pada pandemi COVID-19, mengapa KPU malah memaksakan diri untuk membebankan biaya kampanye pada APBD, kenapa tidak di lepaskan saja kepada masing-masing calon kepala daerah,” kata dia.
Dia menyebutkan, silahkan dibuatkan saja regulasi yang lebih relevan dilakukan di saat pandemi. Tidak usah KPU seolah-olah melakukan “monopoli” seluruh tahapan pilkada, mengunakan pandemi untuk sesuaitu yang tidak leluasa, seharusnya semua menggunakan transformasi digitalisasi di dalamnya.
“Jika semua tahapan minta dibiayai APBD, dan kemuduan di kelola oleh KPU ini sama saja melakukan monopoli terhadap tahapan pilkada. Soal kampanye silahkan dilepaskan saja kepada publik, dan kepada masing-masing calon kepala daerah menggunakan berbagai macam media sosial untuk sosialisasi,” kata dia.
Menurutnya, dalam perang melawan COVID-19 ini, tidak hanya sebatas protokol kesahatan saja, seperti mengunakan masker, hansanitizer dan cuci tangan saja. Namun harus ada inovasi digitalisasi agar dalam penyelengaraan pilkada ini tidak menimbulkan klaster baru.
“Kita bisa ambil contoh kemarin, saat proses pendaftaran KPU, bagimana ada pergerakan massa yang begitu besar untuk mengantarkan pasangan calon ke KPU. Hal ini bisa berpotensi memunculkan klaster baru. Kuliah saja sudah daring, ini tahapan pilkada ko masih mengunakan cara lama, masih bisa mengumpulkan massa, bisa melakukan kampanye terbuka,” kata dia.
Dia mengambil contoh, penyenglengaraan pilkada di Lampung untuk penyelenggaraan pilkada serentak 2020 di tengah pandemi COVID-19 di delapan kabupaten/kota mencapai Rp56.113.524.669. Seharusnya jumlah ini bisa lebih efisien jika KPU membuat regulasi yang mengedepankan digitalisasi dalam setiap tahapannya.
“Tahapan-tahapan yang seharusnya bisa dilakukan secara digital seperti verfak DPT, pola Kampanye, pola penghitungan, kemudian beberapa tahapan lain. Seharusnya sampai dengan penetapan calon tanggal 23 nanti, KPU harus menggunakan tahapan secara digitalisasi. Bukan hanya sekedar melekatkan protokol kesehatan dalam setiap tahapan,” kata dia.