Yasonna Tegaskan Pentingnya Pengawasan Perbatasan dan Kolaborasi
JAKARTA - Pandemi COVID-19
telah menimbulkan dampak serius terhadap perekonomian global, mulai dari
perlambatan ekonomi, inflasi yang meninggi hingga potensi kerusakan jangka
panjang pada rantai pasok sumber daya.
Tingginya kebutuhan, sementara disisi lain resources semakin
langka dimanfaatkan oleh beberapa pihak demi kepentingan kelompok dan
keuntungan sesaat melalui celah-celah yang ada. Celah pelangggaran hukum yang
berpotensi tinggi untuk dilanggar adalah kawasan perbatasan yang rawan bagi
terjadinya penyelundupan manusia.
Kondisi tersebut dipaparkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna
Laoly pada forum Bali Process di Adelaide, Australia, Jumat (10/02/2023).
Menurut Yasonna, perbatasan negara merupakan wilayah yang
rawan dan mudah disusupi bagi terjadinya penyelundupan manusia atau people
smuggling, perdagangan orang dan kejahatan transnasional lainnya.
Yasonna menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen tinggi dalam
memerangi perdagangan orang dengan cara peningkatan pengawasan di perbatasan
dan kepatuhan terhadap rezim internasional yang berlaku.
“Kami Pemerintah Indonesia berkomitmen tinggi dalam
memerangi perdagangan orang termasuk berkolaborasi dengan dunia usaha. Kami
juga berkomitmen untuk menerapkan rekomendasi AAA (Acknowlegde, Act, Advance)
hasil rekomendasi dari Government and Business Forum (GABF),†papar Yasonna.
Dalam Bali Process kali ini, Yasonna menyampaikan beberapa
hal. Pada sesi Future Collaboration, Menkumham Yasonna mengusulkan peningkatan
kerja sama bidang teknologi digital dan platform media sosial untuk memerangi
perdagangan manusia, serta dibutuhkannya penelitian dan kampanye bersama
tentang tren dan praktik bisnis agar bermanfaat dalam pelibatan GABF dengan
khalayak yang lebih luas.
Kemudian pada sesi Plenary I tentang teknologi, Yasonna
menyampaikan empat langkah yang perlu disikapi oleh anggota forum Bali Process,
yaitu meningkatkan kerja sama dalam penguatan hukum; menajamkan kerja sama
pengawasan perbatasan; meningkatkan pemanfaatan platform teknologi; serta melakukan
penelitian, menyusun pedoman dan pelatihan untuk responden pertama di
perbatasan.
“Indonesia berkomitmen mencegah segala bentuk perdagangan
orang dengan cara peningkatan pengawasan di perbatasan dan pintu-pintu
imigrasi. Namun demikian, komitmen kami tersebut tidak akan menuai hasil
optimal tanpa kerjasama serta dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak,
khususnya sektor swasta atau bisnis,†ujar Yasonna.
“Untuk mengimplementasikan visi tersebut, kami memerlukan
adanya sinergitas dan peningkatan kolaborasi oleh semua anggota, pengamat, dan
pemangku kepentingan terkait lainnya baik itu publik, privat bahkan
individual,†lebih lanjut kata Yasonna dengan tegas.
Selanjutnya pada sesi Plenary II Bali Process berfokus pada
masa depan. Pada sesi ini, Yasonna selaku Pimpinan Delegasi dari Indonesia
menyampaikan tiga usulan, yaitu memperkuat kerja sama penegakan hukum dan
manajemen pengawasan perbatasan; menghidupkan kembali mekanisme yang ada
melalui Pokja secara inklusif dan kreatif; dan merancang kerja sama praktis
atau teknis yang ditargetkan untuk mendukung anggota Bali Process, termasuk
didalamnya kesepakatan bantuan hukum timbal balik dan perjanjian ekstradisi.
Bali Process merupakan forum yang digagas Indonesia dan
Australia pada tahun 2002. Forum ini bertujuan memperkuat upaya menanggulangi
persoalan penyelundupan manusia dan perdagangan orang, serta kejahatan lintas
negara terkait lainnya.
Pada pertemuan forum Bali Process 2023, Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Menteri Yasonna yang didampingi langsung Sekretaris Jenderal
Kemenkumham Andap Budhi Revianto dan pejabat tinggi lainnya, yaitu Dirjen
Imigrasi dan Dirjen Pemasyarakatan.
Bali Process 2023 mengangkat isu guna mendorong upaya
kolektif antara pemerintah dengan sektor swasta dalam memerangi perdagangan
manusia untuk kerja paksa, perbudakan modern, dan bentuk-bentuk terburuk dari
pekerja anak, termasuk peningkatan transparansi rantai pasok dan praktek bisnis
yang etis.
Konferensi Bali Process diikuti oleh 49 negara dan
organisasi internasional yang menjadi anggota Bali Process, serta 18 negara observer
dan 9 organisasi internasional.
Konferensi ini menghasilkan "2023 Adelaide Strategy for
Cooperation" yang disepakati bersama sebagai pedoman kerjasama
negara-negara anggota Bali Process dalam upaya mengatasi kejahatan
transnasional.
Bali Process 2023 dilaksanakan selama dua hari, sejak Kamis
(09/02) kemarin. Untuk agenda penutupan hari ini, Jumat (10/02), dimana
kegiatan terbagi dua. Pertama, forum gabungan antara pemerintahan (government)
dan swasta (Business ). Kedua, hanya dari kalangan pemerintahan saja. Kemudian
diakhiri dengan penutupan.