Warga Lahat Tuntut Ganti Rugi 4 Perusahaan Tambang

LAHAT - Puluhan warga Desa Muaramaung Kecamatan Merapi Barat Kabupaten Lahat mendatangi PT Bara Alam Utama (BAU) untuk menagih janji ganti rugi lahan Rp6 miliar, Senin (22/06).
Perusahaan tambang tersebut dinilai telah merusak lahan pertanian, peternakan, serta rumah warga akibat lumpur dari tambang batubara di hulu Sungai Kungkilan.
Seperti dituturkan Sumhanaya, salah seorang warga. Ia berani ikut mendatangi perusahaan karena lahan pertanian dan rumah miliknya sudah rusak dan terendam lumpur. “Kami gagal panen, kolam rusak, hewan ternak mati, dan di dalam rumah kami tergenang lumpur,” katanya.
Sumhanaya menjelaskan, banjir yang membawa lumpur dari tambang terjadi pada 27-28 Desember 2019 lalu. Warga sudah melaporkan kerusakan serta pencemaran lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat. Bahkan nilai kerugian yang dialami warga sudah dihitung oleh tim yang dibentuk pemerintah daerah.
Namun sampai saat ini tidak ada penyelesaian dan tindakan tegas dari Pemda terutama DLH Lahat. Menurut warga, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat tidak berani memberikan tindakan tegas kepada perusahaan yang telah merusak dan mencemari Sungai Kungkilan yang mengakibatkan lahan pertanian gagal panen.
Warga sempat memblokade jalan pada 17 Juni 2020. Saat itu, pihak empat perusahaan yakni PT. BAU, PT. Karya Kasih Agung (KKA), PT. Bumi Merapi Energi (BME), dan PT. Muara Alam Sejahtera (MAS) bersedia bernegosiasi ganti rugi ke warga terdampak. Negosiasi direncanakan di kantor PT. Bara Alam Utama (BAU) pada tanggal 22 juni 2020. “Karena itu, hari ini kami beramai-ramai mendatangi kantor PT. BAU untuk menagih janji tersebut,” terangnya.
Nopriansyah, Perwakilan Satuan Peduli Lingkungan dan Masyarakat (SALIM) Lahat menilai, negosiasi tidak sesuai harapan warga. Pihak perusahaan hanya menyanggupi ganti rugi sebesar Rp160 juta dengan rincian Rp75 juta dari PT BAU, Rp75 Juta dari PT MAS, Rp5 juta PT KKA, dan Rp5 juta dari PT BME.
Nilai ini, menurut pihaknya, tidak masuk akal. Sebab kerugian warga mencapai Rp6 miliar. Sementara dari tawaran perusahaan tersebut berarti setiap kepala keluarga hanya mendapat Rp1,5 juta per orang untuk kerusakan ringan, dan Rp4 juta per orang untuk kerusakan berat.
“Warga menolak tawaran perusahaan itu dan meminta perusahaan tidak boleh melakukan operasional dan beroperasi sampai tuntutan warga dipenuhi. Jika masih masih beroperasi maka masyarakat sendiri yang akan menghentikan aktivitas perusahaan tambang itu,” jelas Nopriansyah.