Warga Aceh Timur Tolak Pembangunan Penangkaran Badak Sumatera

Warga Aceh Timur Tolak Pembangunan Penangkaran Badak Sumatera
Ramli AG (Foto: Istimewa)

ACEH TIMUR - Masyarakat Desa Rantaupanjang, Kecamatan Simpangjernih, Aceh Timur, Aceh menolak pembangunan penangkaran Badak Sumatera atau lebih dikenal Program Suaka Rhino Sanctuary (SRS).

Penolakan tersebut karena belum ada pembayaran ganti rugi pinayah oleh Yayasan FKL kepada penguasaan tanah masyarakat seluas 600 hektar.

“Sesuai musyawarah desa pada 29 Agustus 2021 lalu yang dihadiri perangkat desa, masyarakat, menyepakati menolak rencana pembangunan tersebut sebelum ada ganti rugi,” tegas Ramli AG, salah satu tim perwakilan Desa Rantaupanjang.

Dia menejlaskan, pada musyawarah mediasi masyarakat dengan Yayasan Forum Konservasi Louser (FKL) dan para pihak terkait lainnya dengan kesepakatan serta membahas hasil berita acara hasil pertemuan di Barak Walet.

"Hasil musyawarah tersebut melahirkan kata sepakat yang tertuang dalam berita acara musyawarah ditanda tangani oleh saya sendiri, Keuchik, Ketua Tuha Peut, Notulen musyawarah, serta para masyarakat dan Tokoh Masyarakat Desa Rantau Panjang dengan keputusan menolak pembangunan SRS dikawasan Desa mereka," ujar Ramli AG.

Dasar penolakan, sambungnya karena ganti rugi pinayah terhadap penguasaan atas hak tanah milik masyarakat yang diplot pihak Yayasan FKL 600 hektar untuk ptogram SRS belum disepakati secara konkrit alias terkesan bertele-tele oleh pihak Yayasan FKL.

"Masyarakat juga meminta areal lokasi pembangunan SRS yang diplot oleh pihak Yayasan FKL agar digeser 200 meter kearah barat jalan Rantau Panjang-Peunaron," ungkapnya.

Masyarakat Rantaupanjang mengatakan tanah tersebut digarap sendiri saja untuk kepentingan masa depan keluarga masyarakat Desa Rantau Panjang yang semakin terjepit untuk bertani dan berkebun.

"Kami memilih mempertahankan tanah tersebut untuk kami garap dan bercocok tanam bersama keluarga kami meskipun hasilnya tidak seberapa memuaskan bagi keluarga kami," sebutnya.

Keuchik (Kepala Desa) Rantau Panjang Said Ridwan menyampaikan, keputusan masyarakat adalah keputusan Desa yang paling tinggi karena semua atas dasar azas musyawarah mufakat bersama.

"Bagi saya, apa yang menjadi keputusan musyawarah Desa adalah keputusan bagi kami semua yang harus kami jalankan. Bagi saya hak dan kepentingan masyarakat itu yang utama harus saya perjuangkan karena saya dipilih oleh masyarakat," ucap Said Ridwan.

Koordinator Perizinan Program SRS Hertanto saat dikonfirmasi menjelaskan, terkait finayah memang sudah disampaikan dan masyarakat menolak dengan tegas.

"Kemudian kami mempersilahkan masyarakat untuk berkirim surat resmi penolakan finayah tersebut ke tim Kabupaten yang terdiri dari Forkominda dan instansi terkait," jawab Hertanto.

"Dan dalam mediasi sudah kami tawarkan juga program kemitraan dan pemberdayaan masyarakat," sambungnya.

Terkait lahan pengganti setelah program berjalan akan dicarikan opsi dengan para pihak yang berkepentingan

"Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan juga akan kami sertakan sesuai kapasitas masyrakat itu sendiri," tambahnya.

Lanjut Hertanto, ketika verifikasi lapangan perwakilan masyarakat tidak bisa menunjukkan penguasaan keseluruhan beserta tanam tumbuhnya. Klaim sesuai berita acara seluas 500 hektar, bukan 600 hektar. Demikian informasi tambahan hasil turun ke lokasi SRS bersama masyarakat dan tim Kabupaten.