Wahidin Bantah Tidak Pernah Lakukan Pembinaan pada Bank Banten

Wahidin Bantah Tidak Pernah Lakukan Pembinaan pada Bank Banten
Gubernur Banten, Wahidin Halim (Istimewa)

SERANG - Gubernur Banten, Wahidin Halim, membantah anggapan bahwa dirinya tidak melakukan pembinaan kepada PT Banten Global Development (BGD) atau Bank Banten sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Banten. Hal itu dibuktikan oleh BGD yang kini sudah mampu setor deviden sebesar Rp 1,7 miliar.

"Selama menjadi Gubernur, saya tidak campur tangan dan tidak banyak berkomentar.  Tapi saya berusaha menyehatkan Bank Banten," ungkap Wahidin saat menggelar konferensi pers di rumah dinas Gubernur Banten Jalan Ahmad Yani No. 158 Kota Serang, Senin (29/06).

Dari awal, lanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan bahwa Bank Banten prosesnya tidak normal.

"Dari awal, direksi BGD banyak yang ditangkap. Tapi dari 2017, tidak ada direksi BGD yang ditangkap. Itu pembinaan dari Pemprov Banten. Warehouse BGD di bandara juga kita benahi untuk meningkatkan kinerjanya," ungkapnya.

Masih menurut Wahidin, hasil kajian saat itu untuk menyehatkan Bank Banten dibutuhkan dana Rp2,8 triliun.

"Barusan kita rapat mengenai skema dan agenda penyehatan Bank Banten. Bank peninggalan masa lalu yang penuh persoalan. Sampai sekarang masih dalam penyelidikan KPKdan BPK mengenai proses akusisi," paparnya.

Dikatakan, kalaupun dilakukan penyertaan modal kepada Bank Banten, dana penyertaan modal akan habis.

Wahidin juga paparkan upaya penyehatan Bank Banten yang dilakukannya sejak menjabat Gubernur Banten. Dari kebutuhan modal Rp2,8 triliun, pihaknya berusaha menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menyehatkan Bank Banten.

"Dari kebutuhan modal Rp2,8 triliun, BRI sanggup Rp1,8 triliun dan Pemprov Banten  Rp 1 triliun. Namun BRI mensyaratkan diligence (audit,red). BRI pun mundur sehingga dana pemerintah tidak bisa digelontorkan," ungkapnya.

Dipaparkan pula upaya menjalin kerjasama dengan Bank Mega yang berujung seperti upaya menjalin kerjasama dengan BRI. Termasuk upaya menjalin kerjasama dengan investor asal Malaysia sejak sebelum wabah COVID-19 melanda yang hingga kini masih terjalin komunikasinya.

Menurut Wahidin, Bank Banten mengalami kesulitan likuiditas karena ada rush Rp1,8 triliun saat ada COVID-19. Bank Banten mengalami kesulitan likuiditas juga terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat DPR RI dengan OJK.

"Menurut OJK, sejak 14  Mei 2020 Bank Banten dalam pengawasan," ungkapnya.

Sebelum melakukan pemindahan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), Wahidin juga mengaku berkonsultasi dengan Bank Indonesia (BI).  Menurutnya, meskipun yang menyatakan sehat atau tidak sehat bukan kewenangan BI, namun BI yang menentukan suatu bank boleh melakukan kliring atau tidak.

Dikatakan, saat RKUD belum dipindahkan dari Pemerintah Pusat ada dana masuk sebesar Rp 300 miliar. Ada pula pemasukan dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Pemprov Banten. Namun Bank Banten tidak bisa membayar.

"Pemindahan RKUD ada dasar hukumnya. Pemindahan RKUD untuk menyelamatkan dana kasda (kas daerah) dan menyelamatkan setoran baru," ungkap Wahidin.

Ditambahkannya, proses politik untuk menyelamatkan dana kasda yang ada di Bank Banten atas perintah OJK. Saat ini OJK meminta Bank Banten dan BGD sebagai induk usaha untuk membuat skema penyehatan. Posisi Gubernur Banten hanya sebagai pemegang saham pengendali terakhir. Bank Banten entitas bisnis tersendiri.

"Sekarang kita membuat proposal dan minta dukungan DPRD Provinsi Banten. Untuk sehat perlu modal, kita cari modalnya. Kalau tidak ada, ya merger," ungkapnya

"Kita taat hukum. Sekarang proses di DPRD Provinsi Banten. Kita mengupayakan persyaratan-persyaratannya. Persoalan kita sekarang adalah likuiditas," pungkasnya.