Tapera Dinilai Tidak Tepat, KPBI Minta Pemerintah Bangun Perumahan Bagi Buruh

Tapera Dinilai Tidak Tepat, KPBI Minta Pemerintah Bangun Perumahan Bagi Buruh
Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah

BANDARLAMPUNG - Pemerintah akan melaksanakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. 

Aturan baru ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei lalu. Berdasarkan aturan itu, upah buruh akan dipotong 2,5 persen untuk tabungan perumahan.

“Buruh melihat Tapera sama sekali tidak tepat buat kelas pekerja,” tegas Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah, melalui rilis yang diterima monologis.id, Kamis (04/06).

Menurut Ilham, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara, tanpa kecuali pemenuhan kebutuhan perumahan.

“Apa yang bisa kita lihat dari kebijakan Tapera adalah upaya lepas tangan negara atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat,” kata dia.

Ilham mengungkapkan, upaya melepas tanggungjwab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain kebutuhan publik, menunjukkan bahwa negara tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.

“Tapera hadir dalam kerangka menarik dana publik, alih-alih menggunakan sumber daya  negara untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit,  sebagaimana logika korporasi bekerja,” ungkapnya.

Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Dalam konteks bisnis sekalipun ini tidak terlihat masuk akal, dimana publik yang sebagai penopang utama sumber pendanaan, bahkan tidak memiliki saham atau otoritas apapun atas BP Tapera.

Lalu, lanjut Ilham, pungutan sebesar 2,5 persen dari besaran upah bagi pekerja adalah pukulan terhadap daya beli pekerja. Tambahan pungutan ini akan menggerus nilai upah, lebih-lebih skala kenaikan upah telah lama dipagari oleh Peraturan Pemerintah no 78/2015.

“Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera di tengah merebaknya pandemi COVID-19, juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah atas kondisi rakyat pada umumnya dan kelas buruh secara khusus. Di saat-saat sulit seperti sekarang ini,  sepatutnya negara lebih banyak memberikan uluran tangan terbaiknya untuk memudahkan kehidupan rakyat, bukan uluran tangan untuk menarik lembaran rupiah dari kantong rakyat,” ujarnya.

Ilham mengatakan, sejauh ini negara terus saja  mengintensifkan penarikan  dana dari publik, yang hakekatnya adalah melemparkan beban krisis ke punggung rakyat. Dari biaya  tarif listrik yang naik, tidak diturunkannya harga BBM, sampai dengan perluasan penerapan pajak.

“Peraturan Pemerintah terkait Tapera  tidak berlebihan bila diartikan sebagai lanjutan dari  intensifikasi penarikan dana dari publik untuk mengatasi defisit APBN,” ungkapnya.

Kata Ilham, KPBI menolak Tapera karena sudah ada rujukan buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk oleh Undang-Undang. Pada bulan Mei yang lalu, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan pemerintah. MA menyatakan pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan. MA memandang karena defisit terjadi akibat  kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan. Landasan MA itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020.

“Apa yang dinyatakan MA ini menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa membenahi kinerja yang buruk dari badan yang mengelola dana publik. Penarikan dan pengelolaan dana publik baru seperti Tapera, patut diwaspadai akan mendorong berulangnya praktek pengelolaan yang buruk, merugikan rakyat dan menambah persoalan baru di kemudian hari,” kata Ilham.

Dia menegaskan, Tapera bukannya akan memberikan kebermanfataan dalam jangka panjang bagi rakyat, sebaliknya malah hanya akan menjadi ladang permasalahan baru, sehingga  pada ujungnya rakyat akan kembali  menjadi objek penderita.