Sidang Kasus 'Kejahatan Terhadap Keamanan Negara' Dituding Penuh Kejanggalan
SIGLI – Sidang lanjutan kasus ‘kejahatan terhadap keamanan negara” di Pengadilan Negeri Aceh Sigli, Aceh, terhadap terdakwa Nasruddin bin Wahab (43) dan Zulkifli M. Rasyid (35) pada Minggu lalu (16/03), diwarnai aksi walk out pengacara kedua terdakwa.
Argumen yang disampaikan adalah ketidaksesuaian pada agenda persidangan.
Agenda yang tercantum adalah pemeriksaan saksi. Namun tiba-tiba tanpa pemberitahuan yang terjadi adalah pemeriksaan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ini menunjukan bahwa JPU tidak patuh pada prosedur persidangan karena sejak awal hakim memutuskan agar mengikuti pada agenda yang ditentukan.
Dalam hal ini JPU dinilai tidak menunjukan konsistensinya serta tetap ngotot untuk menghadirkan keterangan ahli versi JPU yang telah dikenal publik cenderung tidak netral (tendensius).
Karena kasus “kejahatan terhadap keamanan negara” ini wajib didampingi oleh pengacara dan di waktu yang bersamaan pengacara terdakwa melakukan protes melalui walk out, maka hakim menawarkan kepada terdakwa kuasa hukum lainnya.
Dalam hal ini, kedua terdakwa menolak kuasa hukum yang ditunjukan tersebut sehingga konsekuensinya persidangan pemeriksaan keterangan ahli akan dilakukan hari ini, Selasa (23/03). Sedangkan terdakwa tetap didampingi oleh pengacara dari LBH Banda Aceh.
Menurut laman web pengadilan negeri Sigli, sistem informasi penelusuran perkara (attachment), hari ini Selasa (23/3) pukul 10 pagi, agenda sidang adalah pembuktian. Dalam persidangan hari ini dapat dikategorikan bahwa akan memasuki pokok dari kasus yang sedang disidangkan.
Sebagai informasi tambahan, sebelumnya pengacara telah menyampaikan keberatan agar persidangan tidak lagi dilakukan dengan virtual dengan alasan agar lebih mudah berkomunikasi dengan terdakwa. Dalam hal ini persidangan telah mengindahkan protes tersebut dengan meningkatkan prasarana seperti microphone, semua orang tampil di layar, laptop dan fasilitas penunjang lainnya.
Penasehat Hukum Kedua terdakwa yakni Syahrul dan Arabiyani dari LBH Banda Aceh mengajukan permohonan secara lisan agar persidangan bisa dilaksanakan secara langsung, tidak secara daring setidaknya selama agenda pembuktian.
“Kami memohon kepada majelis hakim, agar persidangan selanjutnya dapat terlaksana sesuai dengan isi perma nomor 4 tahun 2020. Karena kami yakin perma ini dibuat untuk menjamin terpenuhinya hak-hak terdakwa dan tercapainya keadilan meskipun dalam kondisi pandemi seperti ini.
Menurut Arabiyani, hal tersebut sama sekali tidak terpenuhi, yang tampak di layar monitor hanya para terdakwa, dan majelis hakim, sedangkan jaksa dan penuntut umum tidak terlihat, serta tidak semua suara peserta sidang bisa didengar dengan jelas oleh terdak yang mengikuti sidang di Lapas.
"Menurut kami ini masalah besar, apalagi dimasa-masa pemeriksaan saksi seperti saat ini,” ujarnya.
lebih lanjut Arabiyani yang didamping Syahrul menyebut proses persidangan tersebut juga tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dimana seharusnya bahwa terdakwa dan penasehat hukumnya secara fisik harus berada dalam satu ruangan yang sama.
Poin dalam pasal ini penting bagi penasehat hukum dan terdakwa, dimana jika ada yang ingin didiskusikan terkait dengan kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan bisa langsung terkonfirmasi secara rahasia dan ini merupakan salah satu prinsip hubungan anatara pengacara dan klien yang harus dihargai dan dihormati oleh siapapun, termasuk peradilan.Kemudian Pasal 7 ayat (5) menekankan bahwa Ruangan tempat terdakwa mengikuti persidangan harus dilengkapi dengan alat perekam/CCTV yang dapat memperlihatkan ruangan secara keseluruhan.
"Beberapa kali sidang kami merasa bahwa persidangan sangat terganggu, dimana kadang-kadang ada suara mesin pemotong keramik di lapas, ribut, dan bahkan ada suara TV serta musik, sehingga terdakwa tidak bisa fokus dan mendengar suara dalam sidang,” ujar Arabiyani.
Untuk itu alam rangka mendukung berlangsungnya proses persidangan yang sesuai dengan prinsip fair trial, Kuasa hukum memohon agar kedepan para terdakwa bisa dihadirkan secara langsung, apalagi sekarang agenda sidang adalah pembuktian.
Kilas balik perkara, sebelumnya pada 11 Oktober 2020, sekitar pukul 17.00 WIB Nasruddin (43) bersama Zulkifli (35) memasang spanduk/banner bertuliskan: “Kamoe simpatisan ASNLF, menuntut Aceh pisah deungoen Indonesia, Acheh Merdheka” dengan latar (background) bendera berwarna merah bergaris pinggir hitam dengan gambar bulan dan bintang berwarna putih, yang diikat pada dua bilah bambu di Jalan Umum Gampong Glee Gapui, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.
Spanduk itu juga dipasang di Gedung Non Gelar Teknologi Universitas Jabal Ghafur.
Dalam keterangan pers dari kuasa hukum kedua terdakwa kepada AJNN diperoleh informasi bahwa pembuatan dan pemasangan spanduk tersebut dilakukan atas perintah Nasir Usman (55), selain itu Nasruddin juga diminta untuk merekam proses pemasangan spanduk/banner dan mengirim hasil rekamannya kepada Asnawi Ali (45). Rekaman video pemasangan spanduk tersebut selanjutnya diunggah oleh Asnawi Ali melalui akun youtube Asnawi Ali dengan judul “SPANDUK ACEH MERDEKA DIPAJANG DI UNIGHA”.
Lalu pada Selasa, 27 Oktober 2020, Nasruddin diamankan oleh pihak Kepolisian Polres Pidie di kediamannya di Gampong Keupula, Kembang Tanjong atas dugaan Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan Ujaran Kebencian melalui Media Sosial.
Karena hal tersebut Nasruddin dan Zulkifli diancam dengan 4 pasal sekaligus yaitu pertama Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, kedua, Pasal 106 KUHP jo Pasal 87 KUHP jo Pasal 53 (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, ketiga, Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP Ke-1 KUHP dan keempat, Pasal 45A Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) UU No.19 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Menurut kuasa hukum terdakwa, ada kejanggalan dalam proses kasus yang menjerat Klien mereka. Pertama, aparat penegak hukum yang menangani perkara ini terkesan menghambat hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum.
Hal ini dibuktikan bahwa setiap pelimpahan perkara ke tahap selanjutnya tidak pernah diberitahukan kepada penasehat hukum tersangka, padahal para tersangka dalam kasus ini sudah menunjuk LBH Banda Aceh sebagai penasehat hukumnya berdasarkan surat kuasa yang ditanda tangani tertanggal 8 Desember 2020.
Sebagai contoh menurut Arabiyani pelimpahan perkara dari penyidik polisi kepada Jaksa Penuntut Umum. Kedua, saat pelimpahan perkara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Pengadilan Negeri Sigli. Pihak JPU tidak memberi tahu kepada tersangka, atau kuasa hukumnya.
Hal ini menurut kuasa hukum terdakwa jelas bertentangan dengan aturan hukum acara pidana (KUHP) sebagaimna telah diatur dalam pasal 143 ayat (4) bahwa “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Ketiga, kata Arabiyani, bahwa pada 22 Februari 2021 para terdakwa tiba-tiba dikeluarkan dalam sel lapas tempat mereka ditahan tanpa surat pemebri tahuan terlebih dahulu, untuk disidangkan. Ini juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Seharusnya surat pemeberitahuan penyidangan perkara sudah diberitahukan kepada terdakwa tiga hari sebelum persidangan dilangsungkan, sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 146 ayat (1) KUHAP “penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai”.
Lalu kejanggalan terakhir sampai dengan saat ini adalah terkait dengan adanya Surat Berita Aceh Penolakan Untuk Didampingi oleh Penasehat Hukum dari Para Terdakwa yang dilampirkan dalam Tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas Eksepsi/Keberatan Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa. Dimana surat ini tidak pernah ditandatangani oleh para terdakwa.
"Maka dengan itu, kami menduga ada pihak yang melakukan pemalsuan surat tersebut. Bahwa dugaan pemalsuan surat ini adalah tindak pidana. Penasehat Hukum sudah meminta kepada majelis hakim melalui surat yang disampaikan langsung dalam persidangan tadi, Selasa, 23 Maret 2021, untuk menghentikan proses atau penundaan proses peradilan perkara ini dan mengusut tuntas dugaan tindak pidana pemalsuan surat ini terlebih dahulu," ujar Arabiyani dalam keterangan persnya.
Terakhir menurut Arabiyani, mengingat bahwa dugaan tindak pidana pemalsuan surat ini dilakukan dalam dan untuk kepentingan persidangan perkara ini, maka untuk itu, hakim sudah seharusnya menghentikan perkara terlebih dahulu dan mencari kebenaran terhadap surat tersebut. Karena tidak mungkin persidangan dilakukan melalui cara-cara yang merendahkan wibawa pengadilan (contempt of court).