RUU HIP Butuh Aspirasi Publik yang Luas dan Substantif

RUU HIP Butuh Aspirasi Publik yang Luas  dan Substantif
Istimewa

BANDARLAMPUNG – Persaudaraan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menggelar diskusi publik Reboan bertema “Berebut Pancasila: Kemelut RUU HIP” yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (01/07) malam lalu.

Agenda diskusi ini menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Dewa Putu Adi Wibawa selaku pengamat isu ketatanegaraan yang juga mantan ketua Ekskot LMND Bandarlampung serta Saddam Cahyo mantan sekretaris Ekswil LMND Lampung periode 2012-2015 yang kini bergiat di organisasi Perhimpunan Pancasila.

Sementara bertindak langsung sebagai fasilitator diskusi adalah Arif Fachrudin Achmad mantan Ketua Umum Eksnas LMND Periode 2011-2014.

Menanggapi riuhnya reaksi beberapa pihak atas isi draft RUU HIP dengan menyoal beberapa pasal seperti  dicantumkannya redaksional trisila dan ekasila, yang dianggap memundurkan posisi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ruh utama dari Pancasila. Hal ini juga menjadi dasar tudingan berlebihan bahwa penyusunan RUU HIP ini wujud dari upaya membangkitkan kembali komunisme karena tidak dicantumkannya konsideran Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai penimbang.

“Pancasila itu lebih dari sekadar konsensus para pendiri bangsa yang asal sepakat saja, jika dimaknai hubungan antara satu sila dengan yang lain adalah sejajar dan saling terikat sebagai satu tarikan nafas, nilai yang dikandung oleh sila pertama misalnya juga dikandung dalam sila kedua, pun lainnya. Jika ada yang menerjemahkannya secara hirarkis berurutan satu dulu baru melahirkan sila berikutnya, itu justru gagal paham,” kata Saddam.

Senada diungkapkan Dewa, pendapat bahwa relasi nilai antarsila itu saling kontradiktif secara filosofis juga fakta yang harus diakui. Namun nilai-nilai luhur yang telah disusun dalam Pancasila sesungguhnya merupakan relasi yang sangat dialektis.

“Pada setiap kontradiksi di antaranya justru menghasilkan sintesis baru yang mengandung lebih besar nilai kebajikan ketimbang bila tiap sila itu berdiri sendiri,” bebernya.

Selain itu, diskusi tersebut juga menyoroti hal yang dianggap lebih pokok ketimbang narasi kontraproduktif seperti komunistophobia dalam wacana kebangsaan Indonesia.

Dewa semisal menyebut dalam draft RUU HIP mengandung hal substansial yang harus diwaspadai, seperti potensi tafsir tunggal Pancasila oleh penguasa serta pelemahan pelembagaan yang menggawangi Pancasila itu sendiri.

“Ada banyak pasal krusial sebenarnya, seperti yang menguraikan definisi Manusia Pancasila dan Masyarakat Pancasila, kita khawatir keterbatasan teks di UU ini nantinya justru bisa dipergunakan secara otoriter. Tafsir tunggal atas Pancasila seperti itu juga bisa sangat mereduksi spiritnya sebagai Falsafah Dasar bernegara bangsa. Bisa jadi riset ilmiah tentang Pancasila ke depan justru akan menjadikan UU ini sebagai sumber primer yang mengurai definisi, sementara risalah utama dari para penggalinya seperti Bung Karno justru dilupakan,”kata Dewa.

Ia menambahkan, pasal yang menyebut Presiden adalah pemilik kekuasaan tertinggi dalam pembinaan ideologi Pancasila, serta salah satu tugas lembaga leading sectornya untuk mengevaluasi seluruh regulasi yang bertentangan dengan Pancasila tapi hanya sebatas berwenang memberikan laporan pada Presiden, rasanya perlu ditinjau ulang kalau tak ingin menjadikanya sia-sia.

Sementara Saddam menyoroti ruang kosong yang belum dimanfaatkan oleh unsur progresif untuk memberikan masukan daftar inventarisasi masalah yang bisa memajukan kualitas RUU HIP agar tidak menjadi blunder bagi langkah mewujudkan cita-cita mulia kemerdekaan Republik Indonesia.

“Pasal 7 yang diributkan karena memunculkan kembali frasa ekasila dan trisila memang tidak tepat karena secara konstitusional yang disepakati adalah Pancasila, tapi RUU ini juga memiliki urgensi yang tinggi karena ada gejala amnesia kebangsaan yang harus diwaspadai bersama. Survey-survey yang muncul dalam dua dekade pasca reformasi dengan terang menunjukan betapa Pancasila sebagai pandangan hidup kian meluntur, baik dalam keseharian warga dan penyelenggara negara, maupun dari kebijakan dan regulasi yang terus terbit dengan mengabaikan kemaslahatan bersama,” ucap Saddam.

Penolakan atas RUU ini kiranya tidaklah bijak, polemik yang muncul belakangan ini semestinya justru diperkaya lagi oleh pandangan dari spektrum masyarakat yang lebih luas, agar tidak menyempit dan menyimpang dari substansi.

“Seperti diamanatkan UU Nomor 12 tahun 2011 disebutkan asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang, maka semestinya di fase ini unsur-unsur publik yang punya kejelian dan visi kebangsaan yang lebih substantif jangan berdiam diri. Mari kawal bersama,RUU ini agar bisa menjadi dasar bagi pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila yang tepat guna,” pungkasnya.