Perpu Penanganan Covid-19 Dinilai Kebal Hukum

BANDUNG-Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/03) silam telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi coronavirus disease 2019 (covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Perpu ini diterbitkan oleh pemerintah sebagai akibat pandemi virus korona yang berdampak kepada sistem keuangan dengan penurunan berbagai aktifitas ekonomi domestik.
Perpu ini dinilai oleh pemerintah sebagai langkah antisipasi dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan dan penyelamatan perekonomian nasional.
Namun dibalik itu semua, terdapat ketentuan di dalam Perpu tersebut yang dikritisi oleh Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Adnan Yazar Zulfikar. Ia mengkritisi ketentuan khususnya di dalam Ketentuan Penutup, Pasal 27.
“Pasal tersebut berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah dan dinilai sebagai pasal yang kebal hukum. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa biaya yang keluarkan pemerintah dan lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam penanganan virus korona bukan merupakan kerugian negara,” ungkap Adnan kepada monologis.id di Bandung, Jawa Barat, Jumat (03/04).
Selanjutnya, pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi pejabat pelaksana Perpu tersebut khususnya di dalam Pasal 27 ayat (3) sehingga tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perpu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
“Prinsipnya semua undang undang yang berisi hukum acara, mau pidana, perdata, atau TUN, itu dimaksudkan untuk memfasilitasi gugatan warga negara dan memberi aturan main kepada pengadilan mengenai cara memproses gugatan-gugatan itu, biar tindakan yang dilakukan khususnya pemerintah tidak sewenang-wenang,” ujar Adnan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa dalam negara demokrasi, setiap keputusan atau tindakan pemerintah harus ada ruang untuk di uji, “Jadi, ga boleh ada Undang-Undang melarang warga negara untuk menggugat. Prinsipnya hakim ga boleh menolak perkara. Di negara demokrasi, setiap keputusan pemerintah harus ada ruang untuk men-challenge-nya. Itu turunan dari prinsip bahwa setiap keputusan pemerintah harus dapat dipertanggungkawabkan,” sambung Adnan.