Komnas Perempuan : Pandemi COVID-19 Masalah Perempuan Meningkat, 90% Pilih Diam

JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong integrasi berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang inklusif dan interseksional, dengan perhatian khusus pada perempuan, dalam penerapan kebijakan normal baru.

Tanpa perhatian khusus tersebut, kebijakan normal baru dapat mengakibatkan kerentanan baru pada kondisi kehidupan perempuan, termasuk pada kekerasan.

Berdasarkan hasil survei online (Daring) yang dilakukan Komnas Perempuan tentang perubahan dinamika Rumah Tangga pada masa Pandemi COVID-19 yang berlangsung pada April hingga Mei 2020. Bahwa perempuan dan beberapa kelompok rentan lainnya di dalam Keluarga akan menanggung dampak sosial, ekonomi dan psikis lainnya selain bahwa mereka rentan mendapatkan sebaran COVID-19.

Dengan perspektif HAM, maka perempuan diharapkan lebih terlindungi termasuk dalam menghadapi persoalan beban majemuk yang komplek seperti kesehatan, pemiskinan, eksploitasi dan kekerasan.

Hasil survei daring mengidentifikasi bahwa kerentanan pada beban kerja berlipat ganda dan kekerasan terhadap perempuan terutama dihadapi oleh perempuan yang berlatar belakang kelompok  berpenghasilan kurang dari 5 juta rupiah per bulan,  pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, serta bagi

Dengan jumlah responden 2.285 hampir 96% menyatakan Beban pekerjaan rumah tangga selama COVID19 secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki. Diketahui  bahwa 1 dari 3 reponden yang melaporkan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres. Kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi KDRT.

Sebanyak 80% responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. Kekerasan fisik dan seksual terutama meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah.

Kurang dari 10% perempuan korban melaporkan kasusnya ke pengadalayanan semasa COVID-19.  Sebagian besar lebih memilih sikap diam atau hanya memberitahukan kepada saudara, teman, dan/atau tetangga. Responden yang tidak melaporkan kasusnya terutama berlatar belakang pendidikan tinggi. Hampir 69% responden juga tidak menyimpan kontak layanan untuk dapat mengadukan kasusnya.

Literasi teknologi dan masalah ekonomi  pada  masa pandemi COVID-19 berkelindan  dan menjadi faktor pendorong dalam mengakses layanan pengaduan, masalah Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR).  Jaringan internet yang tidak stabil, anggaran terbatas untuk kuota internet dan literasi teknologi merupakan permasalahan yang muncul selama pandemi COVID-19.  Masyarakat Indonesia masih belum siap dengan teknologi daring dan infrastruktur teknologi belum tersedia secara merata di 34 provinsi di Tanah air, termasuk keamanan datanya.

Sebagian besar responden menilai bahwa pemerintah belum siap menghadapi pandemik COVID-19  dari segi infrastruktur dan masih terfokus  pada aspek medis. Responden menyoroti kesiapan di aspek teknologi dan informasi serta pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, layanan publik bagi  warga, termasuk sistem pendidikan di sekolah formal dan informal  hingga perguruan tinggi.  Ketegasan pemerintah juga menjadi catatan tersendiri.