Kisah Pilu Nasib Buruh Perempuan, Alami Diskriminasi Upah Hingga Pelecehan

Kisah Pilu Nasib Buruh Perempuan, Alami Diskriminasi Upah Hingga Pelecehan
Kegiatan buruh perempuan di pulau pasaran dalam mengembangkan inisiatif perempuan.

BANDARLAMPUNG – Annisa, tak bisa melupakan kisah pilu yang dialaminya saat menjadi sales promotion girl (SPG) di salah satu pusat perbelanjaan di Bandarlampung, Lampung, medio 2019 silam.

Dia dipecat secara sepihak oleh koordinatornya dan mengaku tidak mendapatkan gaji ataupun pesangon dari tempatnya bekerja saat meminta izin pulang karena sakit.

"Saya pernah sakit karena haid pertama, terus minta form izin sama satpam, tapi malah di resignin sama koordinator, langsung dikeluarin dari grup karena waktu itu nggak di izinin pulang dan saya maksa pulang," ungkap Anissa, menceritakan kisahnya kepada monologis.id, Senin (13/04).

Tak hanya Anissa, buruh nelayan perempuan di Pulau Pasaran Bandarlampung, mengeluhkan soal perbedaan upah yang diterima. Perempuan hanya dibayar Rp40 ribu sedangkan laki-laki menerima upah Rp50 ribu per hari dengan beban dan jam kerja yang sama.

Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Armayanti Sanusi selaku Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung saat mendampingi produsen pangan memilih ikan kecil di Pulau Pasaran.

Selain itu kerentanan lain yang dialami nelayan perempuan di Pulau Pasaran adalah pelecehan seksual, seperti di tepuk pundaknya, dan di lecehkan secara verbal.

“Demikian juga yang kerap terjadi dengan buruh di pabrik, kerentanan yang dialami mereka adalah mendapatkan pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan kerja laki-laki di perusahaan tersebut,” ujar Armayanti Sanuasi.

Sebagai aktivis perempuan yang kerap melakukan kegiatan di Lapangan, Armayanti juga rentan mendapat pelecehan verbal atau cat calling dari aktivis laki-laki.

Menurutnya, relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan masih timpang, sehingga menyebabkan adanya pelecehan dan meragukan kapasitas perempuan dalam dunia kerja. “Saya pernah mengalami perempuan diragukan secara kapasitas, dan jika perempuan tersebut memiliki kapasitas kerap tidak diberi ruang untuk berproses ataupun mengambil peran tertentu. Tentunya ini kita sebut sebagai praktik patriarki yang masih kental terjadi di masyarakat bahkan pada individu penggerak hak asasi manusia di Lampung,” jelasnya.

Armayanti mengatakan untuk memutus relasi kuasa timpang yang berdampak terhadap praktik patriarki menurutnya ada beberapa hal yang perlu terus dilakuakan. Yaitu perempuan korban harus mendapat dukungan dari masyarakat, adanya instrumen kebijakan yang memiliki perspektif keadilan gender untuk melindungi perempuan, membangun gerakan solidaritas terhadap penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di Lampung. Serta, perempuan korban harus mulai membangun kesadaran kritis dan mulai bersuara terhadap situasi kekerasan berlapis yang dialaminya.