Hilangnya Peran Negara Terhadap Pemenuhan Hak Pekerja Dimasa Pandemi COVID-19
BANDARLAMPUNG - COVID-19 berdampak terhadap banyak hal. Begitu juga dengan aspek ketenagakerjaan, dimana selama pandemi telah banyak berdampak terhadap tenaga kerja.
"Dari berbagai sumber yang kami himpun selama pandemi COVID-19, di Provinsi Lampung per April 2020 terdapat 2.379 tenaga kerja dirumahkan,"ujar Sumaindra Jarwadi, Kepala Divisi Ekosob LBH Bandarlampung, kepada monologis.id, Rabu (13/05).
Ia mengungkapkan, sejak keluarnya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang pelaksanaan pemberian tunjangan hari raya keagamaan tahun 2020 di perusahaan dalam masa pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) pada 6 Mei 2020, membuat posisi pekerja semakin rentan. Hal tersebut dikarenakan substansi dalam SE Menkertrans itu telah menghilangkan peran dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dari pekerja. Diantaranya, pemberian THR dapat dilakukan dengan perundingan antara pekerja dan pengusaha. Hal ini membuat posisi pekerja menjadi lemah karena tidak adanya peran pemerintah untuk mengintervensi dalam hal pemenuhan hak-hak pekerja.
"Bila perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan, pembayaran THR dapat dicicil atau dilakukan penundaan sampai jangka waktu tertentu yang disepakati antara pengusaha dan pekerja,"jelasnya.
Menurutnya SE Menkertrans yang dikeluarkan tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan), serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan (Permenaker THR).
Sumaindra menegaskan, aturan mengenai cara pembayaran dan pengenaan denda keterlambatan sudah diatur dalam PP Pengupahan dan Permenaker THR. Kedua aturan tersebut menegaskan bahwa pemberian THR adalah kewajiban setiap perusahaan (Pasal 7 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 1 angka 1 Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan). Sehingga, perusahaaan yang tidak mampu membayar THR dapat dikenakan sanksi administratif (Pasal 59 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 11 ayat (1) Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan).
Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak ada ruang perundingan atau negosiasi yang dibuka untuk memutuskan sanksi bagi perusahaan yang tidak dapat membayar THR."
Perbedaan selanjutnya adalah jika dalam SE Menaker denda dapat dirembukan lewat dialog, maka dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, denda bagi perusahaan yang terlambat membayar THR telah ditentukan sebesar 5% (Pasal 56 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 10 ayat (1) Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan),"jelasnya.
Ia menjelaskan, secara hukum, Surat Edaran Menteri tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat ketika berhadapan dengan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Surat Edaran dibuat hanya untuk kalangan internal.
Selain itu, Surat Edaran seharusnya lebih menjelaskan tentang peraturan yang sudah ada, bukan untuk membuat norma baru yang bertentangan. Apabila ditarik dalam permasalahan ini, maka norma baru yang ada dalam SE Menteri tentang THR tidak dapat berlaku menggantikan norma yang telah ada baik di dalam PP Pengupahan maupun Permenaker THR Keagamaan.