Ditengah Covid-19, Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Gelar Diskusi Online Omnibus Law

Ditengah Covid-19, Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Gelar Diskusi Online Omnibus Law
Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum menggelar diskusi terbuka secara online mengenai Omnibus Law.

BANDUNG – Ditengah pandemic covid-19 yang semakin meluas, Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum menggelar diskusi terbuka secara online mengenai Omnibus Law.

Diskusi tersebut digelar hari ini, Senin (13/04), melalui aplikasi zoom.

Diskusi yang mengangkat topik “Ominibus Law Dalam Persfektif Perbandingan Hukum” dipantik oleh Prof. Susi Dwi Harjanti Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran. Adapun yang menjadi pembicara adalah Prof. Aidul Fitriciada Dosen HTN, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ahmad Redi Dosen Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Universitas Tarumanegara dan Giri Ahmad Taufik Dosen HTN dan HAM STH Jentera.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Aidul memaparkan bahwa Omnibus adalah suatu metode pembentukan hukum untuk membahas banyak aspek yang telah di praktikan di berbagai negara dan tidak mengenal sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan, sistem hukum dan lain-lain. Namun beliau memberikan catatan terkait dengan Omnibus Law.

“Pada praktik di beberapa negara, omnibus law biasanya digunakan untuk meringkus parlemen, dengan membuat suatu undang-undang yang kompleks, supaya cepat dan tidak dibahas secara komprehensif, artinya aspek politisnya banyak disini,” ujar Prof. Aidul.

Dia menambahkan bahwa pembentukan Omnibus Law di Indonesia harus memperhatikan aspek negara hukum itu sendiri. “Pembentukan Omnibus di Indonesia harus dilihat dari koridor negara hukum dan demokrasi, kita bukan negara otoriter atau komunis,” lanjut Guru Besar HTN yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial ini.

Selanjutnya, Dr. Ahmad Redi yang juga salah satu tim penyusun RUU Omnibus Law memaparkan bahwa, RUU Omnibus Law diterapkan seiring dengan over regulasi di Indonesia yang kadang menghambat dan menimbulkan tumpang tindih aturan.

“Di Indonesia banyak sekali regulasi, Omnibus Law ini khususnya RUU Cipta Kerja dibuat untuk menyederhanakan permasalahan yang kita hadapi tentang tumpang tindih aturan,” ujar Ahmad Redi.

Namun dirinya selaku tim perumus melihat penyusunan belum berjalan maksimal.

“Kami juga melihat bahwa perlu pelibatan pihak-pihak secara lebih luas dalam pembahasan RUU ini, termasuk di beberapa substansi perlu memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi,” pungkas, Ahmad Redi.

Pembicara terakhir, Giri Taufik menjelaskan bahwa ia merasa pesimistis dengan hadirnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja. “ Saya pesimistis. Saya melihat RUU ini disusun hanya untuk kepentingan pihak tertentu yaitu pemilik modal lah sebut saja, banyak juga permasalahan yang dijumpai salahsatunya terkait dengan ketenagakerjaan di RUU tersebut,” ujar Dosen STH Jentera itu.

Diskusi ini sendiri diikuti lebih dari 100 orang yang terdiri dari dosen, peneliti, praktisi termasuk terbuka bagi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum sendiri rencananya akan menggelar diskusi-diskusi secara online kedepanya, mengingat diskusi secara langsung tidak memungkinkan pada kondisi seperti saat ini.