Bawaslu Harus Tindak Tegas Kepala Daerah yang Mempolitisasi Bantuan COVID-19

BANDARLAMPUNG - Setelah Bawaslu RI menyiarkan bahwa ada dugaan politisasi penyaluran bantuan kepada masyarakat dalam situasi pandemi COVID-19, maka muncul berbagai reaksi dari banyak elemen masyarakat.
LBH Bandarlampung mendorong Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota agar mengambil sikap dan sanksi tegas terhadap calon atau bakal calon yang mempolitisasi bantuan kemanusian untuk wabah COVID-19 yang di lakukan oleh para kepala daerah atau wakil kepala daerah yang hendak maju lagi di pilkada selanjutnya.
“Bahwa kepala daerah sebagai leading sektor dalam pendistribusian bantuan sosial akibat dampak dari COVID-19 seharusnya tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menguntungkan diri sendiri terlebih melakukan upaya-upaya yang dapat mencederai proses-proses demokrasi di Indonesia,” ujar Chandra Muliawan, Direktur LBH Bandarlampung, Rabu (20/05).
Menurutnya berdasarkan fakta di lapangan dan beberapa temuan patut di duga telah terjadi pelanggaran politisasi yang di lakukan oleh kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemberian sembako atau bansos melalui anggaran APBD atau APBN. Bahkan, Bawaslu RI sudah merespons hal tersebut dengan mengeluarkan Surat Nomor 0266/K.BAWASLU/PM.00.00/04/2020 tentang Pencegahan Tindakan Pelanggaran, termasuk terkait dengan pelaksanaan pemberian bantuan COVID-19 untuk menghindari politisasi.
“Menarik kemudian, beragam komentar atas tindakan Bawaslu RI tersebut. ‘jangan pakai kacamata kuda’ berlebih melihat hal ini secara parsial,”ujar Chandra.
Ia menegaskan, sangat keliru kalau menyatakan pemilukada belum dimulai tahapannya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas UU No 1/2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/ 2014 Tentang PemilihanGubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, pasal 5.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 tersebut, maka sangat keliru kalau Tahapan Penyelengaraan “hanya” diukur setelah ada penetapan Calon. Jadi yang menyatakan Tahapan belum dimulai dan tindakan pengawasan pemilu oleh bawaslu “ngawur” itu perlu membaca lagi ketentuan perundangan,”tegasnya.
Kemudian soal kewenangan, mengutip dan mendasarkan pada Pasal 22B poin (c) UU No 10/2016 secara jelas menyebutkan, tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pilkada. “Yang kemudian dihubungkan dengan tahapan, yang indikatornya ‘sudah ada atau belum’ calon kepala daerah. Hal ini sebagaimana ketentuan Tahapan penyelenggaraan, maka argumentasi soal tahapan diukur dari adanya penetapan calon kepala daerah adalah keliru. Jelas itu sudah diatur dalam Pasal 5 UU No 8/2015,”jelasnya.
Menurut Chandra Jika dihubungkan dan dilihat dari segi kewenangan, Pasal 22B poin (c) UU No 10/2016, isinya menyatakan, mengoordinasikan dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan. “Perlu dipahami, itu ketentuan mengatur tahapan penyelenggaraan, yang tahapan sudah dimulai dari pengumuman pendaftaran. Jadi jangan buat tafsir sendiri yang menyesatkan publik, dimana seolah tahapan penyelenggaraan pilkada itu baru dimulai kalau sudah ada calon, sangat keliru dan menyesatkan,”paparnya.
Chandra melanjutkan, perlu dibaca lagi soal Surat No0266/K.BAWASLU/PM.00.00/04/2020 oleh Bawaslu RI. Itu upaya preventif. Maka LBH Bandarlampung mendukung dan mendorong Bawaslu RI, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk mengawasi dan menindaklanjuti jika ditemukan pelanggaran pilkada. ”Yang jadi salah itu kalau Bawaslu tidak menindaklanjuti hasil koordinasi dan pantauan tahapan penyelenggaraan yang dilakukan, maka jika hal itu yang terjadi, baru dapat dikatakan bawaslu ngawur,” kata dia.
Ia menambahkan, hal ini sama sekali bukan mempersoalkan bantuan kepada masyarakat yang terdampak COVID-19, karena memang itu kewajiban pemerintah. “Yang jadi salah itu kalau dipolitisir untuk kepentingan politik. Soal kepala daerah itu jabatan politik, benar. Jabatannya yang jabatan politik. Maka tidak perlu ada nama siapa kepala daerah dalam bantuan. Karena penyalurannya juga menjalankan fungsi jabatan. Misalnya, apabila pemerintah daerah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum (baik secara TUN maupun Perdata), siapa yang kemudian digugat? jabatannya atau orangnya? dalam praktiknya, jabatannya yang ditarik sebagai pihak. Jadi jelas dan tegasitu,”imbuhnya.