Kompolnas Terus Monitor Penyelidikan Insiden KM 50 Oleh Polri

JAKARTA - Jaringan Mahasiswa Jakarta kembali menggelar diskusi hukum terkait insiden KM 50 yang terjadi pada 08 Desember 2020 silam di Jalan Tol Jakarta Cikampek KM 50.
Diskusi dilaksanakan di Warunk Upnormal Raden Saleh, Cikini jakarta pusat, Selasa (09/03), di kemas dalam dua konsep diskusi secara online dan ada juga yang hadir secara offline dengan tetap mematuhi protokol kesehatan COVID 19.
Diskusi dengan mengangkat tema "Insiden KM 50, Antara Fakta Hukum Lembaga Negara dan Opini Politik Kelompok Tertentu" di hadiri oleh tiga narasumber kompeten di bidangnya.
Narasumber pertama hadir dari pengamat politik Ujang Komarudin selaku Direktur Eksekutif Indonesia Political Review & Dosen Universitas Al Azhar.
Dia menjelaskan bahwa, kasus yang terjadi di KM 50 itu harus adanya penegakkan kebenaran dan keadilan, serta Jangan sampai kasus ini dikaburkan. Pointnya bahwa kasus ini harus dikawal.
"Kasus ini harus diselesaikan dengan tuntas, karena ada tindak pidana dengan terbunuhnya 6 orang anggota FPI. Pesan saya, tegakan kasus ini secara adil, apabila keadilan telah ditegakkan, maka citra pemerintah juga akan baik dan citra kepolisian juga akan di selamatkan. Kedua, ketika keadilan ditegakkan, maka tegakkan juga kebenaran. Karena jangan sampai kasus ini dikaburkan," ujarnya.
Lanjut Ujang, jika dilihat proses yang panjang hingga saat ini, kepolisian terus menggali kasus ini hingga sampai saat ini proses pencarian tersangka pembunuhan terus berjalan.
"Waktu itu saya pernah bertemu dengan salah satu penasihat ahli Kapolri, bahwa sesungguhnya tidak ada perintah penembakan dalam insiden KM 50 tersebut. Dan sekarang, sudah mulai terang,” ungkapnya.
Ujang mendukung penuh Kapolri dalam menangani insiden KM 50 ini untuk transparan dan berkeadilan, jangan sampai kasus ini dicampuri dengan urusan politik.
“Kita masih yakin bahwa Negara masih berpihak kepada kebenaran. Objektif dan rasional dalam melihat persoalan ini dengan perspektif hukum. Jangan sampai masalah ini kabur, jika kabur maka akan jadi preseden buruk di kemudian hari," tegasnya.
Albertus Wahyurudhanto selaku Komisioner Kompolnas menjelaskan duduk perkara kasus ini.
"Judul dari diskusi ini memang menarik sekali, secara normatif saya akan mendudukan posisi kompolnas terlebih dahulu, kami sebagai lembaga pengawasan terhadap polri sesuai Perpres Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional. Kami mengawasi tugas kepolisian baik mengawasi langsung ataupun laporan dari masyarakat," kata dia.
Dalam kasus ini, lanjut Albertus, pihaknya mengikuti juga rekonstruksi di lokasi, ada koreksi secara norma langkah-langkahnya apakah sudah benar.
“Kompolnas punya kewenangan melakukan penyelidikan selama ada kasus yang berhubungan dengan HAM, tapi bukan pelanggaran HAM berat. Pada intinya kami mendukung penyelidikan oleh Komnas HAM. Namun balik lagi, Kompolnas hanya sebatas mengawasi Polri. Jadi, Apapun keputusannya dalam insiden KM 50 ini, Kompolnas akan terus melakukan monitor, apakah sudah benar atau belum penyelidikan yang dilakukan Polri,” ujarnya.
Menurut Albertus, Kompolnas tidak bisa masuk dalam kasus ini terlalu jauh, karena Kompolnas hanya mengawasi tugas penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Polri.
"Bahwa yang dimaksud Pelanggaran HAM berat ada tiga, terstuktur, terorganisir dan massif. Dan kewenangannya ada di wilayah Komnas HAM. Apabila Tim TP3 pun mempunyai data maka harus di serahkan ke Komnas HAM. Jadi kita harus bisa mendudukan perkara KM 50 ini, di mana posisi Komnas HAM dan dimana posisi Polri,” bebernya.
Albertus juga menegaskan bahwa kasus KM 50 ini masih di dilakukan proses hukum oleh Polri. Sesuai dengan pandangan Kompolnas maka jangan hanya tuntas dan kepastian hukum saja akan tetapi harus adil juga.
“Dalam hasil penyelidikan insiden KM 50 di temukan tiga unsur, pembunuhan, senjata api dan ada upaya kesengajaan untuk bentrok. Yang melakukan hal itu ada tiga orang tapi sudah di periksa Polri. Intinya kasus ini belum selesai seperti adanya senjata api darimana dan yang menyuplai siapa dan proses awalnya seperti apa. Yang baru terungkap baru 6 tersangka tapi itu tdk dilanjutkan karena tersangka meninggal dunia," ujarnya.
Kemudian narasumber dari Praktisi Hukum, Bambang Sripujo Sukarno Sakti menjelaskan, memang secara hukum tidak ada perintah untuk menembak. Namun, kondisi kepolisian adalah kondisional dimana diizinkan untuk membela diri dalam keadaan memaksa dan ditemukan juga senjata tajam yang ada di mobil anggota FPI.
“Yang kita tahu dari rilis FPI bahwa sempat ada kejar-kejaran antara anggota FPI dan pihak kepolisian. Mengapa hal tersebut terjadi? Jika tidak adanya kesalahan seharusnya ya berhenti saja,” ujarnya.
Dalam proses hukum akan selalu ada pihak yang tidak terpuaskan, baik dari pihak yang membela Kepolisian ataupun pihak yang membela korban. Keluarga korban bisa melakukan pengaduan kepada Komnas HAM agar pihak Komnas HAM dapat ikut serta menyelidiki kasus ini.
“Sekali lagi, tentu dalam kondisi overmacht atau keadaan memaksa adanya pembunuhan di luar hukum, pertanyaanya sekali lagi, tuntasnya kasus KM 50 ini bagaimana ? Kita kembalikan kepada keluarga korban jangan sampai ada pihak yang tidak kompeten ikut campur sehingga memperkeruh situasi dan kondisi saat ini,” tuturnya.
Bambang yakin Polri sudah menjalankan tugas sesuai dengan protap.
“Bahwa berdasarkan tema ini ada 2 sudut pandang, fakta hukum dan politik tertentu, silahkan mengkritik asalkan dapat membangun opini yang baik dan bukan kritik untuk saling menjatuhkan. Pemerintahan sekarang kan pemerintahan yang demokratis," tegasnya.