Potret Buram Joko Widodo
Oleh: Suroso *)
Belakangan ini masyarakat Indonesia sering dikejutkan oleh drama-drama politik yang bertujuan untuk memenangkan Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024 (Pilpres). Salah satu yang menarik perhatian adalah ketika Mahkamah Konstusi (MK) meloloskan satu judicial review tentang batas umur terendah calon Presiden dan calon wakil Presiden (cawapres).
MK, khususnya Ketua MK, Anwar Usman, disinyalir melakukan pelanggaran etika politik yang membuat Gibran Rakabuming, keponakannya, mendapatkan karpet merah untuk menjadi cawapres. Masyarakat melihat bahwa putusan MK tersebut memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan seorang hakim dan praktik nepotisme yang justru ditentang di Reformasi 1998.
Keputusan Usman dan beberapa hakim MK yang satu suara dengannya diliputi perilaku kolusi. Relasi kuasa ketua MK ini dengan Presiden Joko Widodo patut dicermati dan dipertanyakan. Intervensi Presiden sebagai kepala negara ke MK bukan tidak mungkin mengingat MK bukanlah lembaga yudikatif yang mengurusi konstitusi yang steril dan sarat dengan kepentingan politik.
Pemilihan dan penentuan hakim MK berasal dari bermacam pihak, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Inilah lubang besar yang setiap saat bisa memunculkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di MK. Dan bisa dibayangkan, jika setiap hakim MK berpotensi menyimpang dalam mengadili perkara-perkara yang menjadi tugas pokok dan fungsinya sesuai Undang-undang (UU) yang menaunginya, maka pengkhianatan konstitusional bakal terjadi.
Apabila konstitusi sudah dikorupsi, maka negara berada dalam keadaan darurat konstitusional.
MK timbul sebagai buah Reformasi 1998 serta mendapat mandat untuk memastikan bahwa keadilan dan kepastian konstitusional dipenuhi oleh MK. Namun dengan kejadian yang kini masih berlangsung di MK, masyarakat pesimis melihat kepastian dan keadilan akan ada. Terbukti, melajunya Gibran menjadi cawapres Prabowo malah menimbulkan kegaduhan dan pelecehan terhadap kewarasan nalar public
Masyarakat melihat bahwa Presiden Joko Widodo terlibat dalam memuluskan jalan bagi Gibran menjadi cawapres di 2024. Orang melihat bahwa Joko Widodo ikut “cawe-cawe” melalui sumber daya yang dimilikinya sebagai kepala negara dan panglima tertinggi. Dia bisa menggerakan mesin-mesin negara untuk memudahkan anaknya maju. Publik melihat keberpihakan yang nyata melalui ucapan dan tindakannya di berbagai peristiwa dan momen.
Masyarakat tidak akan terusik apabila Presiden Joko Widodo yang tinggal setahun lagi akan lengser, secara etis mempertimbangkan berbagai hal menyangkut kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pemilu ataupun Pilpres merupakan wujud konkrit demokrasi dalam memilih dan menentukan kesinambungan kepemimpinan nasional yang akan menahkodai negeri ini.
Reformasi 1998 menunjukkan bahwa rakyat anti terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Rakyat anti terhadap dwifungsi ABRI. Rakyat anti terhadap Pemilu yang tidak jujur, bebas, rahasia, dan adil. Rakyat juga anti terhadap pemimpin atau Presiden yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memanipulasi publik dengan politik adu domba. Rakyat anti terhadap pemerintahan yang mengembalikan supremasi sipil ke tangan rezim militer.
Masyarakat menyaksikan bagaimana Presiden Joko Widodo sebagai eksekutif telah melahirkan banyak UU yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, contohnya Omnibus Law. Bahkan pemerintahannya lebih memihak oligarki dan membiarkannya merampok sumber daya negara dengan membiarkan praktik-praktik korupsi marak dilakukan oleh kalangan menterinya.
Joko Widodo hanya mengatakan bahwa semua itu urusan tiap-tiap menteri dan diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan. Padahal KPK dan pengadilan diisi oleh orang-orang yang tidak kapabel, berintegritas, dan bermoral. Mengubah UU KPK dengan tidak menyediakan orang-orang baik ada di KPK, ini sama saja manipulasi publik. Ini kerusakan demokrasi yang dibiarkan oleh Joko Widodo.
Bulan lalu Presiden Joko Widodo meneken UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang membuka celah bahwa TNI bisa berkarya sebagai ASN. Pasal 19 UU ASN mengatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Masyarakat melihat ini adalah pintu masuk kembalinya dwifungsi ABRI yang justru dilawan sejak era Orde Baru hingga Reformasi 1998. Kita melihat kekacauan KPK yang diisi oleh anggota Polri aktif. Juga bagaimana kasus korupsi terjadi di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang melibatkan seorang jenderal aktif. Proses hukum tidak berjalan atas mereka. Mereka kebal hukum, karena TNI memiliki sendiri sistem hukum dan peradilannya. Apakah Joko Widodo menyadarinya?
Tatanan demokrasi makin rusak meskipun reformasi sudah berjalan 25 tahun. Dan kerusakan itu makin parah di era Joko Widodo. Pembangunan infrastuktur dan pengendalian ekonomi tidak berjalan lurus dengan penegakan hukum dan terciptanya keadilan. Rakyat melihat bagaimana elit tidak tersentuh hukum bila melanggar. Hukum tajam ke rakyat tumpul ke penguasa. Rakyat tidak merasakan kepastian dan keadilan dari sistem hukum yang ada.
Kini semua orang pesimis, masih adakah demokrasi di negeri ini? Masih adakah perbaikan hidup rakyat di masa depan? Seratus hari menjelang Pilpres dan Pileg, masihkah kita bisa berharap bahwa Presiden Joko Widodo tidak cawe-cawe dalam kontestasi kemenangan Prabowo-Gibran di 2024?
*Koordinator Jaringan Kawan GanjarMahfud ’98 dan mantan tahanan politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) 1996 – 1999.